MASAKINI.CO – Ia sesenggukan di pojok ruang ganti. Badannya bergetar, air matanya tumpah, kedua telapak tangannya menutup wajah.
Pria itu Septi Hariansyah, pelatih Rugby Aceh. Sejurus kemudian, Rahmat Ariskan, asistennya membangunkan Septi dari posisi duduk di atas kursi biru.
Di momen yang sama, pemain Rugby Aceh dengan nomor punggung 3, Putra Rian Adha mengguyur air mineral ke kepala pelatihnya. Tim X-Rugby Aceh berjingkrak-jingkrak. Larut dalam emosi campur aduk. Bahagia sekaligus haru.
Siang itu, alumni Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek) Universitas Syiah Kuala (USK) ini, baru saja mencatatkan sejarah. Membawa X-Rugby Aceh merengkuh medali emas. Untuk pertama kalinya, usai menundukkan Kalimantan Timur (Kaltim) dengan skor 34-22, di Lapangan X-Rugby, Lambung, Banda Aceh, Kamis (12/8/2024).
“Saya menangis karena teringat perjuangan. Flashback terhadap proses yang kami lewati,” katanya.
Bagi pelatih asal Sabang yang sudah lama berdomisili di Banda Aceh ini, medali emas sangat berarti. Sebab pada PON Papua lalu, dirinya bersama tim mendapat perunggu untuk Aceh.
Pada PON tahun 2021 itu, untuk kali pertama Rugby dipertandingkan. Medali emas di PON XXI Aceh-Sumut 2024 menyempurnakan capaian Septi.
“Medali emas untuk Aceh dari Rugby, buah dari proses panjang sejak 2018,” ungkapnya.
Usai PON Papua, pemain Rugby Aceh tetap berlatih di sela-sela kesibukan masing-masing. Bekal pengalaman di Papua, dengan komposisi pemain serupa ditambah TC 14 hari ke Malaysia jelang PON XXI Aceh-Sumut, mengikuti dua kompetisi di Perlis dan Negeri Sembilan. Mengantarkan tim Rugby Aceh ke puncak medali paling berkilau.
“Pengalaman paling berharga di Malaysia, saya langsung dimentori oleh pelatih Timnas Rugby Malaysia, Nik Safuan Ismade,” tegasnya.
Jalan Panjang
Medali emas dari rugby tidak datang ujuk-ujuk. Jalan panjang membentang sejak tahun 2018. Medio itu, Andry Agung membawa dan merintis Rugby untuk Aceh.
Ia pengurus KONI Aceh. Kebetulan, Ketua Persatuan Rugby Union Indonesia (PRUI), Didik Mukrianto merupakan kolega Andry.
Sebuah telpon masuk dari Zulfikar, juga dosen Septi. Menjelaskan bahwa ada cabor baru yaitu Rugby. Setelah bertemu, ia diminta kesedian Septi untuk masuk jajaran pengurus Rugby Aceh yang sedang digodok kepengurusannya.
Hatinya sempat bimbang. Sebab kala itu, dirinya sedang di persimpangan jalan sebagai insan bola. Antara melanjutkan sepakbola atau berhenti.
“Setelah berpikir, saya tergugah untuk membantu, membesarkan olahraga rugby. Apalagi karena dosen yang ajak. Masuklah saya dalam susunan pengurus. Saya jadi Ketua Binpres,” kenangnya.
“Lolos Pra PON pun, kita susah payah. Dari posisi buncit peringkat lima. Alhamdulillahnya, di PON Papua kita berhasil meraih medali perunggu. Dan saya dinobatkan sebagai Pelatih Terinspirasi dalam bentuk piagam,” sebut Septi.
Perunggu di PON Papua menyalakan semangat anak asuhnya untuk merengkuh emas di Aceh. Usai berkalung medali di Papua, pemain Rugby Aceh menemui Septi. Bertanya bagaimana mereka ke depan. Kata pemain, jika bukan Septi pelatih Rugby lagi, mereka tidak akan main lagi.
“Mungkin ikatan emosional sudah sangat erat dengan anak-anak. Karena itu pula, sulit untuk saya tinggalkan,” bebernya.
Sepakbola
Septi sudah menyegel satu tiket sebagai asisten pelatih tim sepakbola PON Aceh. Itu berkat medali perak di Pekan Olahraga Rakyat Aceh (PORA) untuk Aceh Singkil yang ia persembahkan tahun 2022. Sementara Safrizani, pelatih PORA Pidie mempersembahkan emas sepakbola untuk Pidie.
“Tidak bisa saya pungkiri berat akan pilihan antara rugby dan sepakbola. Tapi saya harus memilih, dan rugby sebagai jalan yang saya ambil. Karena rugby di Aceh termasuk saya generasi pertama yang merintis,” ungkapnya.
Dilema itu terasa wajar, apalagi, setelah perak di PORA sebagai pelatih sepakbola Aceh Singkil. Di Liga 3 Aceh 2023, Septi juga sukses membawa PSAB Aceh Besar hingga ke grand final. Meski takdirnya, sekali lagi, runner-up pada kompetisi tersebut.
“Harus kita akui bahwa euforia sepakbola itu beda. Belum lagi, saya juga sudah lisensi B sebagai pelatih sepakbola. Tidak mudah,” ujarnya.
Sebab itulah, tangisnya pecah ketika memastikan Aceh merebut medali emas di X-Rugby. Bagi Septi, itu menjadi akumulasi ganjaran dari takdir runner-up-nya di sepakbola. Setidaknya di dua kompetisi terakhir sebelum PON. Yaitu PORA dan Liga 3 Aceh.
“Jelang final rugby, saya dejavu. Karena salah satu pemain rugby andalan saya diskor di semifinal dan tidak bisa main final. Sama seperti di PORA dan Liga 3, pemain sepakbola saya juga mendapatkan kartu merah di semifinal. Saya sempat berpikir, apa mungkin ini runner-up lagi di rugby,” ujarnya.
Legacy Rugby
Suatu hari nanti, jika mendapatkan kontrak profesional sebagai tim pelatih di sepakbola, diakui Septi, boleh jadi ia akan meninggalkan rugby. Passion-nya tak dipungkiri.
“Tentu saya tidak boleh lepas omongan. Tapi jika pun saya meninggalkan rugby, sudah ada legacy yang saya tinggalkan. Untuk diteruskan orang lain,” katanya.
Suami dari Ayu Mutia ini mengaku, ada hubungan antara sepakbola dan rugby. Yang ilmunya bisa dipadu-padankan. Dikombinasikan dengan dasar ilmu olahraga yang ia peroleh di bangku kuliah, serta sejumlah pengalaman lainnya.
“Yang mahal dari rugby betapa saling respek. Itu yang saya pelajari. Serta manajemen mengelola manusia,” ucapnya.
Karena rugby, juga membuka karier rezeki bagi anak asuhnya. Dimana setelah PON Papua, ada satu orang pemain rugby Aceh lulus menjadi polisi dari jalur rekpro. Saat ini, ada empat polisi dan dua personil TNI di tim rugby Aceh.
Septi masih berpeluang menambah medali pada PON XXI Aceh-Sumut 2024. Sebentar lagi, katagori Rugby 7’s akan bergulir. Pelatih kelahiran 1988 itu, berharap perolehan medalinya keterusan. Meski ia tak menampik, di Rugby 7’s persaingan lebih alot.