MASAKINI.CO – Terik surya tidak menyurutkan semangat Aldian memunguti ribuan kentang. Ada ukuran super, sedang dan kentang kecil untuk rendang yang baru dipanen.
Puluhan pekerja membantu Aldian, sebagian besar adalah keluarganya, maupun kerabat dari istri. Beberapa bertugas menggali kentang dari tanah, yang lain memunguti lalu memasukan kedalam karung.
Sejak beberapa bulan lalu, Aldian menanam kentang dari jenis bibit G3 di Kampung Delung, Kecamatan Bukit, Bener Meriah.
Kata Aldian, G3 bukanlah bibit kualitas terbaik, bibit tersebut merupakan turunan dari G0 yang dipesan langsung dari Jawa Barat. G3, artinya sebelum ia tanam, bibit tersebut sudah pernah ditanam sebanyak dua kali.
“Yang kami tanam jenis G3. Beli dari saudara. Kami belum sanggup beli bibit G0. Harganya mahal, karena langsung didatangkan dari Bandung, Jawa Barat,” ungkap Aldian.
Setelah menikah, ini kali pertama Aldian menanam kentang secara mandiri dengan modal sendiri. Ia mengaku tidak kesulitan merawat kentang. Apalagi orang tua dan kerabatnya juga menanam kentang di belakang rumah.
Kendatipun sedang panen, dirinya mengaku belum bisa memprediksi apakah hasil panennya menghasilkan banyak laba, atau malah merugi. Sebab modal yang digunakan dari awal sampai panen, tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Biasanya, pembengkakan modal disebabkan oleh naiknya harga pupuk, racun gulma dan serangga serta bibit yang kadang dinamis. Belum lagi perubahan iklim dan cuaca yang juga berdampak pada pengeluaran biaya perawatan kentang.
“Dibilang problem klasik, mungkin tidak juga. Karena kenaikan harga pupuk dan pestisida secara signifikan baru terjadi kurang dari satu dasawarsa lalu. Tapi faktanya itulah yang menjadi keluhan petani dari tahun ke tahun,” keluhnya.
Maskot Palawija Bener Meriah
Jauh sebelum kawasan Linung menjadi salah satu sentra penghasil kentang di Kabupaten Bener Meriah, Kampung Delung kata Aldian merupakan sentra penghasil kentang terbesar di Kabupaten Bener Meriah atau bahkan se-Aceh.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lahan sawah ditumbuhi kentang pasca padi dipanen. Kendatipun sawah telah banyak disulap jadi perkebunan kopi, Kampung Delung tetap menjadi salah satu daerah penghasil kentang terbesar.
“Dulu Kampung Delung dan Gunung Teritit merupakan sentra penghasil kentang di Bener Meriah, tapi yang bertahan hanya kampung Delung, karena kebanyakan lahan persawahan di Kampung Gunung Teritit telah beralih ke tanaman kopi dan palawija lainnya,” kata Aldian.
Bagi Aldian, identitas Kampung Delung sebagai penghasil kentang harus tetap dipertahankan. Menurutnya, perlu perhatian beberapa pihak. Seperti berafiliasi dengan instansi atau lembaga yang mampu menciptakan pasar yang bagus dengan harga yang kompetitif, karena kualitas kentang Kampung Delung tidak kalah dengan kentang dari daerah lain. Harga panen yang rendah juga menjadi problem bagi petani.
Selain itu, pemerintah daerah kedepannya diharap dapat mencetak cendikia tanaman kentang serta laboratorium pembibitan kentang seperti di Jawa Barat. Dengan demikian, akses petani mendapatkan bibit kentang terbaik tidak sesulit saat ini.
“Cukuplah harga pupuk dan pestisida yang jadi kendala bagi petani. Jangan lagi harga bibit,” harap Aldian.
“Hasil panen yang kadang dihargai rendah. Bila terus-terusan begini, sepertinya julukan Kabupaten Bener Meriah sebagai penghasil kentang terbesar se-Aceh akan tergerus. Lahan-lahan persawahan akan beralih ke perkebunan kopi.”