MASAKINI.CO – Pasangan yang menikah pada usia dini masih menjadi masalah serius. Soalnya mereka belum memiliki kemampuan menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sehingga menyebabkan pasangan mengalami kemiskinan dan ketergantungan ekonomi pada keluarga.
Bahkan dampak yang akan dirasakan dari pernikahan dini sangat luas mulai dari kesehatan fisik, mental, pendidikan anak hingga kondisi ekonomi.
Sehingga pelarangan pernikahan anak di Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang batas usia yakni 19 tahun ini menjadi langkah yang tepat.
Plt. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari, menyatakan bahwa pernikahan dini membawa konsekuensi negatif yang dapat menghancurkan potensi dan masa depan anak-anak.
Anak harus dilindungi hak dan kesejahteraannya. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa belajar dan bermain terpaksa menghadapi tanggung jawab yang terlalu besar.
“Pernikahan dini menjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak, ini berakibat buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka, serta menghentikan peluang pendidikan,” ucap Tiara, Sabtu (12/10/2024). Berikut sejumlah dampak dari pernikahan dini:
Dampak Pendidikan
Salah satu dampak paling jelas dari pernikahan dini adalah terputusnya akses anak-anak terhadap pendidikan. Tiara menekankan bahwa anak-anak yang menikah sering kali harus meninggalkan sekolah, sehingga kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka melalui pendidikan.
Jenjang pendidikan itu penting dirasakan karena akan berdampak terhadap pekerjaan. Anak yang memiliki pendidikan tinggi tentu memperoleh pekerjaan yang layak.
Berdasarkan survei, pendidikan adalah salah satu cara terbaik untuk keluar dari kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup.
“Ketika anak-anak menikah dini, mereka harus meninggalkan sekolah dan kehilangan kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik,” katanya.
Dampak Ekonomi
Selain itu, pernikahan dini juga berdampak pada aspek ekonomi. Anak-anak yang menikah dini biasanya tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang memadai untuk mencari pekerjaan yang layak.
Kondisi ini lantas berimbas terhadap garis kemiskinan yang berkelanjutan. Akhirnya pasangan laki-laki tak mampu menafkahkan istri dan mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Gizi anak dan istri bisa tak terpenuhi, kemudian berimbas lagi ke stunting,” ujar Tiara.
Kemudian, dari dampak ekonomi ini turut berimbas terhadap tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Mereka merasa saling tidak tercukupi satu sama lain. Maka tak jarang, faktor ekonomi ini akan berujung terhadap perceraian di usia muda.
Dampak Kesehatan
Menurut Tiara, dari segi kesehatan, anak perempuan yang menikah pada usia dini cenderung belum siap secara biologis untuk hamil dan melahirkan. Kondisi ini meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan persalinan, seperti perdarahan, kelahiran prematur, hingga kematian ibu dan bayi.
Di usia mereka, ini menjadi ancaman serius bagi reproduksi. Banyak anak perempuan mengalami komplikasi karena tubuh belum siap. Risiko kematian ibu dan bayi jauh lebih tinggi pada pernikahan dini.
Selain itu, kehamilan dini juga sering kali berdampak buruk pada gizi ibu dan bayi, karena anak-anak yang menikah cenderung kurang memahami pentingnya nutrisi selama kehamilan.
“Ini akan menambah beban untuk pasangan yang menikah muda,” tuturnya.
Dampak Psikologis dan Sosial
Pernikahan dini juga memberikan tekanan psikologis yang besar bagi anak. Anak yang menikah di bawah umur sering kali mengalami stres dan depresi karena belum matang secara emosional untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Mereka juga lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik, emosional, maupun seksual. Kata Tiara, anak-anak yang menikah diusia muda kerap kali sulit untuk melakukan perlindungan diri mereka dari kekerasan yang terjadi dalam hubungan pernikahan.
“Akibatnya, mereka sering terjebak dalam konflik, bahkan kekerasan rumah tangga, karena tidak mampu mengatasi tantangan yang muncul,” jelas Tiara.
Mereka juga berisiko menjadi korban eksploitasi dan perdagangan manusia, karena usia muda dan kurangnya pemahaman tentang hak-hak mereka.
Berdasarkan data DP3A, terdapat tercatat angka KDRT mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2020 terhadap 61 kasus, tahun 2021 ada 136 kasus KDRT dan tahun 2022 tercatat 132 kasus. Sedangkan kasus trafficking terdapat 1 kasus yang terdata pada tahun 2020, dan satu kasus pada tahun 2021.
Upaya Pencegahan Pernikahan Dini di Aceh
DP3A Aceh, menurut Tiara, terus menggalakkan berbagai program untuk mencegah pernikahan dini, termasuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak negatifnya.
Pihaknya juga bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, dan melakukan aksi jemput bola. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, diharapkan anak-anak kita bisa terlindungi dari ancaman pernikahan dini dan bisa menikmati masa depan yang lebih cerah.
“Kami terus melakukan kampanye dan sosialisasi untuk menekan angka pernikahan dini,” tambahnya.
Tiara juga menekankan bahwa dukungan keluarga dan masyarakat sangat penting dalam upaya pencegahan pernikahan dini. Keluarga harus diberikan pemahaman bahwa pendidikan dan masa depan anak lebih penting daripada tradisi atau tekanan sosial untuk menikah di usia muda.