Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Jadi Perhatian Khusus

Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak I schoolmedia

Bagikan

Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Jadi Perhatian Khusus

Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak I schoolmedia

MASAKINI.CO – Kekerasan pada perempuan dan anak masih menjadi momok bagi masyarakat Aceh. Fenomena kekerasan ini terus meluas, terutama di daerah perkotaan.

Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, Kota Banda Aceh menjadi daerah dengan angka tertinggi kekerasan perempuan yang mencapai 73 kasus tahun 2022 dan 84 kasus tahun 2023.

Studi menunjukkan bahwa 4 dari 100 anak di Aceh pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun. Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi masalah serius sehingga butuh melakukan pendampingan dan perhatian khusus.

Plt Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Tiara Sutari mengingatkan kasus tindak kekerasan terhadap anak di Aceh harus mendapatkan perhatian serius.

Sejumlah permasalahan yang menjadi pemicu tindak kekerasan terhadap anak, harus segera diatasi untuk meredam peningkatan angka kekerasan di Aceh.

Berdasarkan data yang terlaporkan di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Aceh, kasus kekerasan dari tahun ke tahun di Aceh cenderung meningkat. Sejak 2019-2023 angka kekerasan menyentuh seribuan.

Plt Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari

Pada tahun 2019, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 1067 kasus. Kemudian tahun 2020 kasus kekerasan tercatat 905 kasus, sementara pada tahun 2021 naik lagi menjadi 924. Lalu pada tahun 2022 kasus ini menjadi 1.029.

“Nah tahun 2020 ini angkanya tidak terlalu banyak lantaran pandemi Covid-19 sehingga ada pembatasan bertemu orang banyak,” kata Tiara di Banda Aceh.

Tahun 2023 lalu, UPTD PPA mencatat sebanyak 1.098 angka kekerasan pada perempuan dan anak terjadi di Aceh. Dengan rincian terdapat 464 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan 634 kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) yang terlapor.

Sementara tahun 2024 periode Januari-Juli, angka kekerasan perempuan dan anak telah menyentuh 808 kasus.

Sepanjang empat tahun terakhir, bentuk kekerasan terhadap anak yang dilaporkan didominasi bentuk kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan banyaknya kasus yang terlapor di UPTD PPA daerah.

Tiara merincikan tahun 2020 tercatat 159 kekerasan seksual, tahun 2021 tercatat 131 kasus. Sedangkan pada tahun 2022 ada 150 kasus. Lalu angka ini mengalami kenaikan pada tahun 2023 yang tembus angka 164 kasus.

Bentuk kekerasan kedua terbanyak disusul kekerasan Psikis. Dengan catatan 134 kasus tahun 2020, 143 kasus tahun 2021, 148 kasus tahun 2022 dan 130 kasus tahun 2023.

“Kekerasan psikis ini kerap tidak disadari oleh seorang ayah, padahal kekerasan tak hanya dalam bentuk fisik, namun membentak anak juga termasuk kekerasan psikis,” terang Tiara.

Sedangkan angka kekerasan fisik tinggi terjadi pada tahun 2023 dengan total 143 kasus. Kekerasan fisik ini terus mengalami kenaikan sejak tahun 2020 lalu.

Berbeda dengan kasus kekerasan pada anak, bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lebih sering terjadi pada perempuan.

Di mana tahun 2020 tercatat 267 kasus KDRT yang terlapor. Kemudian tahun 2021 naik menjadi 311 kasus, tahun 2022 ada 303 kasus dan tahun 2023 kembali naik 330 kasus kekerasan.

Menurut Tiara, meningkatnya kasus kekerasan yang terlapor, lantaran korban maupun keluarga korban sudah mulai berani membuat laporan. Namun angka yang masih berada di level tinggi ini terus ditingkatkan upaya penekanan angka kekerasan.

“Karena bisa jadi ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak dilaporkan,” ucapnya.

Hal ini bisa dipahami, sebab mayoritas masyarakat masih beranggapan bahwa persoalan keluarga tidak perlu diumbar ke publik karena merupakan aib yang harus ditutupi.

Tiara menuturkan, kekerasan terhadap anak dan perempuan ini memiliki dampak signifikan dalam jangka panjang. Persoalan ini, kata dia, menjadi sangat kompleks dan multidimensi.

Tak hanya soal korban dan pelaku, tapi juga melibatkan faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang mendalam.

Pemerintah Aceh bersama berbagai lembaga terkait telah melakukan berbagai langkah strategis untuk menekan angka kekerasan ini. Namun, masih diperlukan sinergi lebih kuat antar pihak agar hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal.

“Ini tentu menjadi alarm bagi kita semua bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak masih harus terus diperkuat,” tambah Tiara.

Meskipun berbagai program telah dilaksanakan, termasuk kampanye pencegahan kekerasan serta pembentukan layanan pengaduan di tingkat kecamatan, namun kasus yang terus meningkat menunjukkan bahwa akar masalah belum sepenuhnya tersentuh.

Tiara menekankan pentingnya edukasi sejak dini, baik di keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas.

“Jadi penanganan tak hanya dilakukan dari hilir saja juga dari hulunya,” tuturnya.

Faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan seksual:

Faktor individu, yang disebabkan redahnya pendidikan, rendahnya pengetahuan dan keterampilan menghindar dari kekerasan seksual, pernah menyaksikan kekerasan seksual dan pengaruh obat-obatan.

Faktor lingkungan sosial terjadi lantaran kebiasaan atau kebudayaan yang mendukung adanya kekerasan seksual, kekerasan yang dilihat melalui media sosial, kelemahan hukum, ekonomi dan aturan yang tidak sesuai bahkan berbahaya untuk sifat individu wanita atau laki-laki.

Faktor hubungan, adanya kelemahan hubungan orang tua dan anak, konflik dalam keluarga, berhubungan dengan orang jahat atau pelaku kekerasan seksual, serta tergabung dalam geng atau komplotan.

“Kendati demikian kita dari DP3A Aceh aktif memberikan edukasi kepada masyarakat, bahkan kami langsung turun ke desa-desa, karena di sana masih banyak masyarakat yang belum paham kategori kekerasan,” pungkasnya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist