MASAKINI.CO – “Kami pernah menemui kasus seorang ayah tak sadar kalau dirinya telah melakukan kekerasan,” kata Plt Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari mulai berkisah.
Tiara menceritakan bahwa kasus kekerasan ini terjadi tak hanya saat seseorang melakukan kekerasan secara fisik, namun kekerasan psikis kerap kali tak disadari.
Ia punya pengalaman, seorang aparatur desa di suatu kabupaten di Aceh merasa kaget, tak menyangka dirinya ikut melakukan kekerasan.
Pelaku hanya berfikir disebut kekerasan saat ia memukul istri hingga memar maupun berdarah. Puluhan tahun dilakukan, istri menjadi penanggung akibat perbuatan suami.
“Ini sering kita temui saat kita turun ke desa,” ucap Tiara.
Padahal ada empat kategori kekerasan, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis dan penelantaran.
Mereka tak menyadari saat membentak anak dan istri itu sudah memberikan kekerasan kepada anak istri.
“Dan itu telah terjadi selama puluhan tahun dalam rumah tangga,” ucap Tiara prihatin.
Kondisi seperti ini, katanya lantaran masyarakat belum paham terhadap arti kekerasan.
Maka upaya edukasi ke desa-desa menjadi langkah konkret yang digalakkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan upaya dan edukasi yang berkelanjutan bagi masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan dan pencegahan.
DP3A Aceh aktif melakukan kolaborasi dan koordinasi dengan pemerintah desa. Perangkat desa menjadi bagian pencegahan kekerasan yang notabenenya rentan terjadi dalam rumah tangga.
Tiara menjelaskan bahwa DP3A Aceh telah memperluas layanan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di beberapa kabupaten/kota, serta memperkuat koordinasi dengan lembaga terkait untuk mempercepat penanganan kasus kekerasan.
Saat ini baru 10 dari 23 kabupaten/kota di Aceh yang memiliki UPTD PPA, dan 13 lainnya masih dalam proses pembentukan. Layanan ini mencakup pendampingan hukum, konseling psikologis, dan layanan medis bagi korban.
“UPTD PPA adalah pusat layanan yang sangat vital bagi korban kekerasan. Itu menjadi upaya negara dalam memperkuat layanan agar bisa menjangkau lebih banyak korban,” ujarnya.
Menurut Tiara, dinamika yang terus berkembang dengan regulasi yang juga berubah, trend kasus kekerasan yang semakin meningkat, maka diperlukan wahana untuk menjadi forum bersama guna melakukan refleksi sekaligus mendiskusikan langkah-langkah perbaikan di masa mendatang.
flayer kampanye stop kekerasan terhadap anak | DP3A Aceh
Kasus Kekerasan Meningkat, Akses Layanan Dipermudah
Berdasarkan data yang terlaporkan di UPTD PPA Aceh, kasus kekerasan dari tahun ke tahun di Aceh cenderung meningkat. Sejak 2019-2023 angka kekerasan menyentuh seribuan.
Pada tahun 2019, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 1067 kasus. Kemudian tahun 2020 kasus kekerasan tercatat 905 kasus, sementara pada tahun 2021 naik lagi menjadi 924. Lalu pada tahun 2022 kasus ini menjadi 1.029.
Tahun 2023 lalu, tercatat sebanyak 1.098 angka kekerasan pada perempuan dan anak terjadi di Aceh. Dengan rincian terdapat 464 kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan 634 kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) yang terlapor.
Sementara tahun 2024 periode Januari-Juli, angka kekerasan perempuan dan anak telah menyentuh 808 kasus.
Jumlah kekerasan terus mengalami peningkatan yang memprihatinkan. DP3A Aceh terus memperkuat upaya untuk meminimalisir kasus-kasus kekerasan ini dengan berbagai program strategis yang melibatkan masyarakat, lembaga terkait, serta pihak penegak hukum.
Pada dasarnya, peran keluarga dan masyarakat sangat krusial dalam meminimalisir kekerasan ini. Dalam banyak kasus, kekerasan terjadi di lingkungan terdekat korban, baik di dalam rumah, sekolah, atau lingkungan sosial mereka.
Pola asuh yang salah dan ketidaktahuan mengenai hak-hak anak dan perempuan seringkali menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan.
Selain itu, ia juga menyoroti banyaknya korban kekerasan tidak berani melapor karena takut terhadap stigma sosial atau ancaman dari pelaku. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam penegakan hukum dan pemberian perlindungan yang lebih efektif.
DP3A Aceh juga menggalakkan kampanye-kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kampanye ini mencakup sosialisasi di sekolah-sekolah, komunitas, serta melalui media sosial dan media massa.
“Kita selalu menyebarkan informasi melalui baliho-baliho, poster agar masyarakat melaporkan ke kami,” terangnya.
Selain itu, pihaknya juga menggandeng berbagai organisasi non-pemerintah (NGO), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta komunitas lokal yang peduli terhadap isu perlindungan perempuan dan anak.
Kemudian DP3A juga memiliki program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), DP3A Aceh berupaya meningkatkan kehidupan dan ketahanan keluarga.
Program ini mencakup pendidikan/pengasuhan, keterampilan menjadi orang tua, keterampilan melindungi anak, peningkatan partisipasi anak dalam keluarga, serta penyelenggaraan program konseling bagi anak dan keluarga.
Tak hanya itu, Gerakan Forum Anak adalah salah satu upaya dari DP3A untuk menangani dan memberi perlindungan terhadap anak di Aceh khususnya. Hadirnya fasilitas ramah anak seperti Masjid Ramah Anak, Pesantren Ramah Anak.
Pemerintah Aceh melalui DP3A berjanji untuk terus memperkuat langkah-langkah strategis guna melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan, sehingga mereka dapat hidup dengan aman, bermartabat, dan sejahtera.
“Jika ada yang melihat, mendengar, atau mengalami kekerasan, segera laporkan melalui hotline UPTD PPA di nomor 0811-6808-875 atau dapat menghubungi SAPA 129,” pungkasnya.