Tanggy Pengabdi MoU Helsinki

Anggota DPR Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yahya atau Tanggy | foto: dok. pribadi

Bagikan

Tanggy Pengabdi MoU Helsinki

Anggota DPR Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yahya atau Tanggy | foto: dok. pribadi

MASAKINI.CO – Saiful Bahri alias Pon Yahya masih di rimba Aceh, saat kabar Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akan berdamai. Informasi tersebut ia peroleh dari ‘aneuk radio’ dan sejumlah informan.

Tepat 15 Agustus 2005, juru runding RI-GAM menandatangani nota kesepahaman di Finlandia. Kelak, kesepakatan tersebut dikenal dengan MoU Helsinki.

Pon Yahya dengan nama sandi ‘Tanggu’ bersama pasukan “Rimueng Tapa”, Kompi A0015 di Wilayah Samudera Pasee, keluar dari rimba Aceh, kawasan Buloh, Aceh Utara.
“Maka semenjak itu, kita ingin tau apa-apa saja yang disepakati,” kenangnya.

Aceh Monitoring Mission (AMM) pun terbentuk. Tugas dari AMM, memonitor implementasi dari perjanjian RI-GAM. Sebulan kemudian, 15 September 2005 AMM bertugas.
Salah seorang utusan AMM, berkewarganegaraan Jerman datang ke Buloh. Untuk mensosialisasikan MoU Helsinki kepada Tanggy, eks kombatan GAM dan masyarakat di Buloh dan sekitarnya.

“Saya masih ingat persis buku MoU Helsinki warna hijau. Meski nama orang Jerman itu saya sudah lupa,” kenangnya.

Di momen sosialisasi tersebut. Bukan hanya Tanggy yang mendapatkan pencerahan. Di waktu yang sama, sebagai gerilyawan, ia juga berkesempatan diwawancarai oleh orang Jerman tersebut.

Sejak saat itu, bagi Tanggy MoU Helsinki sakral. Perdalam pengetahuan, ia bersama koleganya datang ke kantor AMM di Simpang Kandang, Kota Lhokseumawe.

“Tahap dua saya ingat, orang AMM namanya Emerik dari Perancis. Kami perdalam lagi saat bertemu dengannya,” beber Tanggy.
Hari-hari berlalu. Meski sudah damai, Tanggy tidak meninggalkan rimba. Ia memilih jalan berbeda.

Berdikari. Berkebun. Sementara teman-teman seperjuangannya, banyak yang memilih terjun ke dunia politik.

Dalam istilahnya, tempat yang dulu hanya babi yang lewat, berhasil ia sulap menjadi tempat aktifitas manusia yang menggerakkan ekonomi warga sekitar.

“Saya kira, tugas saya sebagai ‘tentara Aceh’, sudah selesai. Biar yang lebih paham, yang pernah sekolah yang melanjutkan,” pikirnya dulu.

Meski sibuk berkebun. Buku hijau MoU Helsinki saban waktu menemaninya. Aktifitasnya ke kebun di awal paska damai, lebih sering menggunakan motor. Tak jarang, buku hijau yang ia pedomani basah, diguyur hujan.

Buku MoU Helsinki dan UUPA | foto: Ichsan Maulana (ICM)

Jadi Dewan

19 tahun sudah perdamaian Aceh berlangsung. Awal September 2024 akhir pekan, buku hijau dan ‘merah putih’ Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) ada di meja kopinya.

Malam itu, Tanggy sudah menjadi anggota DPR Aceh. Bahkan masuk periode kedua. Ia kembali terpilih di Dapil 6, Aceh Utara dan Lhokseumawe.

Tahun 2019, kali perdana ia ikut kontestasi di Pileg, dan menang. Kepercayaan masyarakat, dan kompaknya teman seperjuangan dalam kerja-kerja politik, memuluskan langkah Tanggy ke DPR Aceh.

Hingga saat ini, ia terus membawa ‘buku hijau.’ Menurutnya,” seperti senjata di masa perang.”
“Saya sudah dilakap dewan buku hijau. Haha. Sampai sekarang saya masih istiqamah,” sambungnya.

Walau sudah menjadi anggota legislatif, Tanggy masih melanjutkan kebiasaannya membagikan buku hijau kepada siapa saja.
Ada berkotak-kotak buku MoU Helsinki tersebut di rumahnya. Ia juga turut membagikan buku UUPA. Dua buku tersebut dicetak Sekwan.

“Saya bagikan kepada siapa saja. Untuk dibaca, dipelajari, ditelaah bersama. Ini bagian dari penerangan,” ucapnya.

Semangat Revisi UUPA

Maret 2022, Tanggy dipercaya gantikan koleganya, Dahlan Jamaluddin sebagai Ketua DPR Aceh.

Sebagai pimpinan, ada banyak prioritas yang musti ia perhatikan. Tapi fokus utamanya kala itu, memastikan revisi UUPA sesuai MoU Helsinki.

Tanggy sempat bertemu dengan Menko Polhukam, waktu itu masih dijabat Mahfud MD. Salah satu pesannya, setiap regulasi, peraturan atau UU yang akan dilahirkan, musti diawali kajian akademik.

Tanggy memanggil dan berkolaborasi dengan intelektual Aceh. Melibatkan USK dan UIN-Ar-Raniry. Dimana katanya, Rektor USK, Prof Marwan menjadi ketua tim. Baginya, melibatkan dua kampus besar di Aceh, maka akan diikuti kampus lainnya di Aceh.
“Dan ahli maupun perwakilan lainya kita libatkan. Termasuk dari kalangan ulama, ada (alm) Tu Sop,” ungkapnya.

Kajian akademik rampung, legal drafting jadi. Sosialisasi berjalan ke seluruh kabupaten/kota di Aceh. Setiap masukan dari tokoh-tokoh atau perwakilan daerah di Aceh, dimasukkan ke dalam kolom catatan untuk ditampung. Dan kemudian diubah dalam bahasa hukum.

“Jadi bagi saya, atau bagi kami eks kombatan, semangat revisi musti sesuai MoU. Bukan hanya perkara dana Otsus semata. Kami membayangkan, Aceh bisa mengatur diri sendiri dalam semua sektor publik,” bebernya.

Termasuk sumber daya alam, terkait pembagian 70/30 antara pemerintah pusat dengan Aceh. Hanya saja, 100 persen tersebut di Aceh dulu. Baru setelahnya, dihitung berapa untuk pemerintah pusat.

“Jika ini bisa kita lakukan. Pendapatan Aceh, saya pikir justru lebih banyak dari pada Otsus dua persen,” sebutnya.

Waktu berjalan. Draf usulan revisi UUPA yang dibuat oleh intelektual Aceh rampung. Hanya tinggal penyerahan ke DPR-RI.

Tanggy menghubungi sejawatnya di DPR-RI, T.A Khalid terkait teknis penyerahan. TA Khalid menyambungkan Ketua DPR Aceh masa itu, dengan seniornya di Partai Gerindra, Dr. Supratman Andi Atgas, SH.,MH yang menjabat sebagai Ketua Baleg DPR RI.

“Komunikasi intens, hangat dan lancar. Saya tanyakan ke Pak Maman, kapan kami antar draf revisi UUPA ke sana. Pak Maman menjawab, biar kami saja yang ke Aceh, untuk ambil,” kenangnya.

Pon Yahya memperlihatkan dua buku pegangannya | foto: Ichsan Maulana (ICM)

Target Tanggy, sebelum 2023 berakhir. Serah terima draf tersebut musti rampung. Setelah komunikasi lancar. Akhir September 2023, ia memanggil Sekwan DPR Aceh, untuk agenda rapat paripurna. Karena penyerahan dan kedatangan Banleg DPR-RI ke Aceh, teknisnya lewat Banmus.

“Jam 11 kami mau rapat untuk Banmus dengan Sekwan. Jam 10 saya terima surat pergantian saya dari ketua DPR Aceh. Ibaratnya lagi asyik berperang sudah ditarik senjata,” ungkap Tanggy.

Padahal, katanya, selambat-lambatnya seminggu lagi. Persoalan revisi UUPA yang dalam keyakinannya sesuai MoU Helsinki, selesai.

Sebagai politisi, ia memahami dinamika yang terjadi, dan baginya lumrah. Tanggy tak berkecil hati, tak ingin menyalahkan siapa pun. Maka komentar-nya usai diganti singkat.

“Jika masih ingat, waktu itu, ketika ditanya wartawan dan ditulis, komentarnya soft. Saya prajurit, jika disuruh di depan, saya siap, di belakang pun, siap,” tegasnya.

Baginya sederhana. Latar belakangnya adalah seorang ‘Tentara Aceh’. Garis komando selalu hidup, dan dipatuhi. Tanpa perlu membuat kegaduhan.

Tanggy sangat menghormati Mualem, panglimanya dalam GAM. Dan orang nomor satu di Partai Aceh. Ia tak ingin menambah beban pemilik nama lengkap Muzakir Manaf itu.

“Saya ikhlas untuk perjuangan Aceh. Siap berkorban apapun. Maka saya tidak ngomong apa-apa. Loyal terhadap pimpinan. Karena ikhlas. Kalau saya banyak ngomong, nanti iklan namanya. Bukan ikhlas,” bebernya.

Ketika disinggung tentang apakah ia sedih. Matanya tampak menahan sesuatu, meski tak ada air yang tumpah. Dihisapnya kretek dalam-dalam. Nada suaranya bergetar.
“Kalau bicara sedih, sepertinya tak cukup tisu di dunia ini untuk hapus air mata saya,” ucapnya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist