MASAKINI.CO – Saiful Bahri tampak menikmati setiap adukan mie Aceh yang sedang ia persiapkan bagi konsumen. “Tang, ting, tuk,” suara sodet beradu dengan belanga.
“Mie ini hanya tidak enak bagi fans Real Madrid yang kalah,” kelakarnya, pertengahan Oktober 2024.
Pemilik sapaan Cek Pon ini, setiap hari jualan di Dek Mie Kupi, Rukoh, Banda Aceh. Ia merupakan penggemar Barcelona FC. Cintanya untuk klub asal Spanyol, pernah mencapai puncaknya medio 2008 hingga 2015.
Jejak Cek Pon pernah sangat Culers -sebutan untuk fans Barcelona- masih abadi hingga kini. Mural berwarna merah biru melatari tembok dapur mie Aceh miliknya. Ada logo Barcelona hitam putih di bagian atas.
“Ceritanya panjang. Mural ini pemberian fans Juventus yang kalah final UEFA Champions tahun 2015,” kenangnya.
Telunjuknya diarahkan tepat di bagian logo Barcelona. Cek Pon menjelaskan, coba perhatikan logo ini, sengaja di bagian logo warnanya hitam putih. Karena yang lukis fans Juventus, klub dengan warna kebesaran hitam-putih.
Beberapa kali, ia melempar senyum saat berkisah tentang peristiwa tersebut. Dahinya kadang sedikit dikernyitkan. Seolah sedang menggali ingatan. Katanya, jelang final champions 2015, fans Juventus kenalan Cek Pon bertanya, apa kompensasi andai salah satu tim keduanya menang/kalah.
“Sempat ditawarkan jersey. Saya bilang, kalau jersey saya sudah punya, dan banyak. Ya sudah, cat saja dapur mie saya,” pikirnya kala itu.
Gol dari Rakitic, Suarez dan Neymar hanya mampu dibalas satu gol Moratta. Skor 3-1 sudah lebih dari cukup untuk menjadikan Barcelona sebagai Raja Eropa kala itu. Ribuan pasang mata yang memadati Stadion Olimpiade, Berlin, Jerman, menjadi saksi sejarah.
Sejarah itu, juga termaktub di mural tembok dapur mie Aceh Cek Pon. Dengan tulisan: Barcelona Trebel Winner 2009 dan 2015.
“Itu dibuat kira-kira satu bulan setelah final champions Barca vs Juve. Dilukis langsung oleh yang bersangkutan. Tiga hari proses pembuatan,” bebernya.
Ia tidak ingat nama asli fans Juventus itu. Si Cina, begitu jamak dipanggil oleh teman-teman. Setelah membeli cat. Terlebih dahulu di-sketsa pada kertas. Lalu dipotong, ditempelkan di tembok, barulah dikuasi cat.
“Sebetulnya dia bukan pelukis juga. Coba-coba saja. Saya kira mural ini bagus, sebab ada warna di dapur dan tahan lama. Sekaligus kenang-kenangan,” jelasnya.

Faktor Messi
Lionel Messi menjadi sebab cintanya untuk Barcelona terpatri. Bahkan Cek Pon mengaku, dia mencintai Messi melebihi Barcelona. Di matanya, mega bintang sepakbola asal Argentina itu, level sepakbolanya berbeda.
“Untuk ukuran pesepakbola, tubuh Messi jauh dari ideal, tapi dia punya cara main lain dari yang lain,” nilainya.
Dalam ingatan pria asal Cot Masam, Blang Bintang, Aceh Besar ini, cinta untuk Messi tumbuh sudah sejak ia menggunakan nomor punggung 30 maupun 19. Jauh sebelum pemilik delapan Ballon d’Or itu, memakai nomor 10. Jejak digital Cek Pon menggilai Messi, tak bisa bohong.
“Email atau password saya semuanya berbau Messi. Haha,” ungkapnya.
Namun, sejak Messi meninggalkan Barcelona, hijrah ke Paris Saint-Germain FC atau PSG. Hingga sekarang merumput di Inter Miami CF. Cek Pon tidak lagi menyaksikan laga Barcelona.
Terakhir kali Cek Pon menonton laga Barcelona tahun 2016. Itupun hanya dua pertandingan. Adanya mural tersebut, diakuinya tidak berdampak terhadap turunnya minat pembeli mie Aceh racikannya, dari klub rival, Real Madrid.
Lelaki kelahiran 1984 ini menilai, mie Aceh dipilih oleh konsumen karena rasa. Di saat mujur, ia menghabiskan 8 kg mie per hari. Bumbu mie Aceh diracik sendiri oleh Cek Pon, sehari selang. Dengan rataan per sekali racik bumbu 1/4 kg.
Bumbu yang diracik sendiri dipercaya punya rasa yang khas. Semua itu, bukanlah coba-coba. Namun proses panjang dari sebuah pengalaman bekerja di dua usaha kuliner.
Sebelum tsunami Aceh, tahun 2002-2004 Cek Pon pernah bekerja di Daus (Peunayong dan Neusu). Setelahnya, ia juga sempat bekerja di Cafee Wareh (Lampriet) tahun 2006-2007. Ia rajin mengamati tukang masak, apa saja komposisi bumbu. Tanpa pernah meminta resep resmi.
Amatan panjang tersebut, lalu diaplikasikan sendiri pada bumbu mienya, dengan takaran berbeda, plus sentuhan ala-alanya. Dengan begitu, ada rasa khas di setiap mie Aceh yang ia masak.
“Mie Aceh rasanya sepertinya sama saja. Yang membedakan ada di seni penjualnya saat memasak. Tergantung suasana hatinya, yang disesuaikan dengan setiap pembeli, apalagi langganan,” katanya merendah.
Seporsi mie Aceh ‘rasa Barcelona’ Cek Pon dibandrol dengan harga Rp12 ribu saja. Belakangan, pejualan mie-nya sudah terbagi. Sejak Cek Pon juga menjajakan soto ayam, per porsinya Rp15 ribu. Dapur berukuran 6 meter ini selesai dibuat tahun 2011. Selain mie Aceh, soto ayam, juga ada jus aneka buah. Penjualnya Taufik, adik kandung Cek Pon.
Identitas Visual
Berkenaan dengan mural tersebut, akademisi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Iskandar, M.Sn Program Studi Desain Komunikasi menjelaskan bahwa, seni visual seringkali menghubungkan pengalaman kolektif dengan identitas pribadi.
“Sebuah karya visual, meski sederhana atau dikerjakan oleh amatir sekalipun, ia bisa mencerminkan interaksi sosial dan budaya melalui simbol-simbol visual, yang memperkuat makna ruang dan ingatan,” terang Iskandar.
Lebih jauh, akademisi yang sedang melanjutkan studi doktoral penciptaan dan pengkajian seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini menjabarkan, mural di dinding dapur mie Aceh tersebut, menjadi representasi dari identitas Cek Pon sebagai orang yang pernah menyukai Barcelona.
“Kebanyakan mural itu simbol yang sarat makna. Secara tidak langsung, menanamkan atau memberi pesan ide atau emosi kepada penonton, atau orang yang menyaksikan,” tukasnya.
Proses melihat berulang juga meninggalkan kesan. Mempengaruhi cara padang terhadap pesan atau isu tertentu, yang sedang ingin disampaikan.