MASAKINI.CO – “Mungkin Aceh memiliki sedikit anomali, ketika menjadi daerah termiskin, tapi pada saat bersamaan survei BPS juga mengatakan; bahwa Aceh menjadi daerah paling bahagia di Indonesia,” kata Reza Indria.
Pernyataan tersebut disampaikan akademisi UIN Ar-Raniry tersebut, Senin (4/11/2024) siang. Tepatnya di bagian sepertiga akhir sesinya berbicara, dalam acara Dialog Ke-Aceh-an. Bertema: pendidikan, kebudayaan dan kepemudaan.
Dua calon wakil gubernur (cawagub) Aceh, Fadhil Rahmi (1) dan Fadhullah (2) yang diapit oleh Hendra Budian maupun Fajran Zain sebagai pendamping masing-masing, dari atas mimbar tampak menyimak. Sesekali terlihat mencatat.
Sementara dari bawah, lulusan Leiden University dan Harvard University itu, sedari tadi, terus menjelaskan pokok-pokok pikirannya tentang kebudayaan Aceh.
“Aceh peringkat 22 nasional dengan nilai 53,33. Lima tingkat di bawah rata-rata nasional dengan nilai 57,13,” sebut Reza.
Fokus utamanya adalah Indeks Pembagunan Kebudayaan (IPK). Dengan sumber data Bappenas, Kemendikbud dan BPS tahun 2023. Ia menggarisbawahi satu hal, bahwa IPK tidak mengukur nilai budaya suatu daerah, melainkan Kinerja Pembagunan Budaya.
Fakta tersebut, menurutnya, mengundang pertanyaan sekaligus indikasi adanya masalah. Terhadap tata kelola, cara melihat dari fungsi dan nilai; benda budaya yang dimiliki Aceh.
Selama ini, ada kecenderungan melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sangat spesifik. Lebih kepada ekspresi seni, hanya melihat kebudayaan sebagai pelengkap kegiatan-kegiatan resmi.
“Ketika orang membayangkan kebudayaan, orang-orang akan membayangkan ada tarian di depan, pembacaan puisi, atau sekadar pembacaan pantun pembuka dan penutup di sebuah kata sambutan,” bebernya.
Namun dimensi kebudayaan yang menjadi tolak ukur IPK meliputi: ekonomi budaya, pendidikan, ketahanan sosial budaya, ekspresi budaya, budaya literasi, hingga gender.
Sembari menunjukkan data pada slide PPT, tangannya menekan laser pointer. Katanya, Aceh mungkin boleh berbangga, memiliki satu karya budaya yang sudah diakui UNESCO, yaitu Saman.
Tetapi butuh perhatian bersama, bahwa pengakuan UNESCO ini, bukan pengakuan abadi.
“Apabila sampai saat ini kita tidak lagi memahami nilai dan fungsi Saman dalam masyarakat Aceh. Bisa jadi, suatu hari (nanti) pengakuan UNESCO terhadap karya Saman itu dicabut,” jelas Reza.
Karena itu, UNESCO juga akan melihat bagaimana masyarakat Aceh, memelihara dan melihat apakah masih relevan bagi kebudayaan masyarakatnya. Masih banyak tantangan dan masalah kebudayaan Aceh ke depan.
“Sampai saat ini, Aceh belum memiliki target terukur bagaimana menaikan IPK Aceh,” sebutnya menohok.
Mungkin Aceh mampu berekspresi di kebudayaan. Hanya saja, yang musti diingat bahwa kebudayaan, sesungguhnya belum menjadi arus utama dalam pembagunan.
“Yang paling penting ke depan, kita berharap, siapa pun yang menjadi pemimpin Aceh ke depan, itu memiliki apa yang disebut dengan Skema Dana Abadi Kebudayaan,” pesan Reza.
Fadhil Rahmi mengapresiasi dialog tersebut. Sebuah bukti kepedulian terhadap masa depan Aceh. Selebihnya, pemilik panggilan Syeh Fadhil ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan.
“Pendidikan erat kaitannya dengan kemiskinan. Buktinya, tingkat kemiskinan di Kota Banda Aceh, paling rendah se-Aceh,” bebernya.
Menurutnya, idealnya Aceh tidak ada lagi disparitas, dikotomi, lebih-lebih diskriminasi mendapatkan kesempatan pendidikan. Tidak hanya perkotaan, tapi juga harus menyentuh pedesaan; pedalaman. Yang sama kualitasnya.
“Kita yakin, dengan meningkatnya derajat pendidikan, Aceh ini akan menyelesaikan banyak masalah,” ujarnya.
Sementara itu, Fadhullah (Dek Fad) menyambut baik ajakan fokus terhadap kebudayaan. Itulah mengapa, ketika menyusun visi misi, pihaknya melibatkan 41 profesor dan 16 orang doktor. Agar sinergi antara pemerintah Aceh dan pusat.
Ia mengenang, sebelum Fadli Zon dilantik sebagai Menteri Kebudayaan, dari postur anggaran pusat, dirinya sudah tahu bahwa akan ada Kementerian Kebudayaan.
“Makanya kami (ingin) wujudkan Tamadun di makam Syiah Kuala. Itu kami dorong (sebagai) proyek program strategis nasional di Kementerian Kebudayaan,” kenangnya.
Usulan tersebut disampaikan, ketika Fadli Zon belum dilantik jadi menteri. “Ketika saya kirim, ini (program) dari Aceh, Kami tidak meminta yang lain. Yang kami minta Tamadun: pusat peradaban Islam terbesar di Asia Tenggara,” sebut Dek Fad.