MASAKINI.CO – Cinta pertama Muhammad David Mohry untuk sepakbola jatuh kepada Real Madrid. Kepiawaian Zinedine Zidane menari bersama bola, dan agungnya pamor Raul Gonzales, telah menyihir anak SMP 1 Bireuen. Nun jauh di belahan bumi berbeda, Aceh. Medio 2000-an.
Wujud cinta untuk Real Madrid diekspresikan dengan membeli jersey Los Blancos, begitu tim ini berjuluk.
“Dulu jersey saya Raul, nomor punggung tujuh,” kenang David.
Sebagai remaja, tidak terpikirkan bahwa di masa depan, ia bisa menyaksikan langsung raksasa sepakbola dari Spanyol itu, bermain di markas kebesarannya, Santiago Bernabeu.
Dua puluh tahun lebih berselang. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan dulu, menjadi nyata. November 2024, Real Madrid menjamu AC Milan. Dua hari sebelum laga, David bertolak dari Aceh ke Eropa, Senin (4/11/2024).
Perjalanan dimulai dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. ‘Burung besi’ jenis Super Jet membawanya ke Kuala Lumpur. Dari Malaysia, berganti maskapai ke Etihad Airways. Transit di Abu Dhabi, sampai ke Zurich, Swiss.
“Pertamanya ke Swiss. Mumpung ada pertandingan Real Madrid, ya sudah terbang ke Spanyol. Mau nonton langsung. Apalagi Liga Champions,” ujarnya kepada masakini.co, Kamis (7/11/2024).
David tiba di Swiss pukul 7 sore waktu setempat. Belum genap 24 jam di sana. Esoknya, ia langsung terbang ke Spanyol. Dua jam setengah waktu pernerbangan. David tiba di Madrid pukul 12 siang.
Perjalanan panjang lintas benua, melewati sejumlah negara, tidak menyusutkan semangat David. Tiket untuk nonton, sudah ia pesan sedari di Swiss via online. Seharga 180 Euro. Setelah meletakan barang bawaan di hotel tak jauh dari stadion, pukul 7 malam, ia sudah berada di caffee sekitar Bernabeu.
“Mengisi waktu menunggu giliran masuk stadion. Makan ringan croissant dengan air mineral saja,” bebernya.
Sejam lebih David menunggu di coffee. Secara teknis, penonton baru bisa masuk setelah tim AC Milan tiba dan masuk ke stadion. David masuk dari gate 38. Tidak ada desak-desakan, semuanya tertib.
Ia hanya mengeluarkan gawai, memperlihatkan tiket online-nya. Lalu barcode di-scan petugas. Setelah menaiki tangga sektor 129, pemandangan dalam stadion yang megah, melambungkan perasaannya. Wah!
“Itu langsung abadikan momen. Foto-foto dulu. Saya kira, kalau setelah tanding, terlalu ramai,” jelasnya.
Pukul 9 malam waktu setempat. Wasit meniupkan peluit jalannya laga. Ia masih merasa-rasa, seolah keberadaanya di Bernabeu hanyalah mimpi. Setiap kali Real Madrid menciptakan peluang, David berjingkrak-jingkrak, ‘mengombak’ dalam lautan Madridistas lintas negara.
Kebahagiaan bisa mewujudkan mimpi nonton langsung Real Madrid, berbanding terbalik dengan nasib klub pujaannya. Malam itu, pemilik 15 gelar Liga Champios dibantai AC Milan. Skor telak 1-3.
“Kecewa atas kekalahan Madrid. Banyak juga kawan-kawan yang bercanda. Kata mereka, Madrid kalah karena saya nonton. Haha,” ujarnya.
Selama menyaksikan Real Madrid vs AC Milan, David sempat berbincang singkat dengan fans negara berbeda. Seorang pendukung Madrid asal Perancis, dan seorang lagi asal Italia fans AC Milan. Terkait AC Milan, ada kesan tersendiri baginya.
“Saya terkesan gol Tijjani Reijnders. Keren mainnya. Pemain keturunan Indonesia,” aku David.
Belakangan, Reijnders menjadi buah bibir pencinta sepakbola Tanah Air. Ia menjadi sosok dambaan, andai bisa atau mau dinaturalisasi. Belakangan, Reijnders sedang dalam performa apik. Sebelum menjebol gawang Madrid. Di Serie A, gol semata wayangnya, berbuah kememangan bagi Rossoneri atas AC Monza.
Gemuruh yang sempat membahana di awal laga, makin tak nyaring menuju akhir pertandingan. Usai peluit akhir, David sama dengan Madridistas lainya, berwajah lesu. Ia tak lagi mengabadikan momen. Langsung kembali ke hotel untuk beristirahat.
“Banyak fans anak-anak kecil yang menangis, setelah laga,” ungkapnya.
Nostalgia Raksasa Eropa
Malam kian larut. David sudah terlelap. Tidur telah mengembalikan kebugarannya. Pagi hari, ia bersiap. Kali ini menikmati lebih dalam perjalanan Real Madrid.
Dengan merogoh kocek 28 Euro. Tur Bernabeu ia susuri. Jejeran trofi di balik kaca, memantik nostalgia. Klub yang berdiri 1902, usianya melampaui abad. Wajar saja, orang-orang berbondong-bondong mau berkunjung ke sini. Pikirnya.
Lagu Hala Madrid berkumandang dalam museum, membawanya ke masa lalu, sekaligus meluncur masa depan. Real Madrid, di mata David, tetaplah raksasa Eropa.
Langkahnya terhenti di depan poster Zinedine Zidane. Lama ia memperhatikan sepatu Adidas hitam ikonik, milik pemenang Ballon d’Or 1998. Gambar Zidane sedang mengayun kaki di dinding, yang David perhatikan, tercatat dalam sejarah sebagai La Novena Magic.
Roberto Carlos mengirim umpan lambung dari kiri. Bola tinggi dengan cepat turun. Zidane yang sudah siap di dalam kotak penalti langsung menyambar, dan gol! Gol spektakuler. Selain indah, berbuah trofi Liga Champions tahun 2002. Real Madrid menang 2-1 atas Bayer Leverkusen.
“Itu gol hebat. Zidane pemain yang saya kagumi. Selain Raul,” tutur David.
Meski banyak keterangan tertulis dalam bahasa Spanyol. Gambar dan benda membantu pengunjung untuk berefleksi. Dan spot paling ikonik, bagi David adalah berfoto di depan lemari kaca trofi Real Madrid.
“Ini perjalanan berkesan. Berfoto di museum mejadi sejarah bagi pribadi. Apalagi ini kunjungan perdana,” ujar David.