MASAKINI.CO – Subuh telah usai. Fajar baru saja menyingsing. Delapan pemuda sudah siap untuk merayakan hobi memancing. Satu mobil bak terbuka jenis Hilux meluncur dari Gampong (Desa) Rukoh.
Mereka menuju Ulee Lheue. Khalid, Farhan, Nuzul dan Ajis memilih duduk di bak belakang. Menjaga enam set pancing atau kail. Rahmad bertindak sebagai juru kemudi. Sisanya, Zikrul, Amar, dan Multazam duduk di depan.
Sekitar 20 menit perjalanan. Mereka telah tiba di Ulee Lheue, namun bukan di laut. Singah sejenak di salah satu tempat, membeli udang sebagai bekal umpan pancing.
“Kami beli udang hidup Rp30 ribu saja,” kata Khalid kepada masakini.co.
Teman-temanya berasal dari kabupaten berbeda, Pidie dan Bireuen. Selama di Banda Aceh, salah satu misinya adalah memancing ikan. Ulee Lheue sengaja dipilih, sebab belakangan banyak pemilik hobi mengail ikan mencoba peruntungan di sana.
Angin sejuk menyambut mereka ketika tiba di jembatan ‘baru’ Ulee Lheue, tepat di samping muara. Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Delapan sekawan ini memilih spot memancing di sebelah kiri jembatan, dekat bangkai kapal.
Berdiri di batu pemecah ombak. Enam dari mereka menyiapkan pancing. Memasang; mata pancing, timah, pelampung hingga mengaitkan udang. Setelah semuanya beres, joran dilempar.
“Mancing di Ulee Lheue beda. Bukan tentang berapa ikan yang didapat saja, tapi bisa santai-santai,” ungkapnya.
“Melihat lalu lintas kapal nelayan, hingga kapal penyeberangan Banda Aceh – Sabang berlayar,” sambungnya.
Belakangan, Ulee Lheue makin ramai dikunjungi pemancing. Meskipun, sudah sejak lama kawasan ini menjadi salah satu sentra aktifitas nelayan.
Hanya saja, wajah wisata mendominasi image Ulee Lheue. Sebab itu pula, mereka memilih waktu pagi.
“Kalau sore terlalu ramai orang wisata. Walau tidak masalah juga. Banyak juga yang mancing. Cuma kami lebih suka pagi, karena lebih tenang,” aku Khalid.
Dua teman mereka, Ajis dan Farhan menjadi penonton. Keduanya tak hobi mancing. Ajis yang bertandang dari Pidie, sibuk menikmati indahnya laut Ulee Lheue. Sembari menyeruput kopi.
Kopi tersebut dibeli di salah satu warung kopi lagendaris di Banda Aceh. Cut Zein atau Kubra kupi. Sembari menyesap kopi, keduanya membantu teman. Dengan sesekali, mengaitkan udang di mata pancing.
Bagi Khalid, pemilik rumah di Rukoh, tempat teman-temanya singgah. Bisa melayani siapa saja teman dari berbagai daerah, bukanlah sesuatu yang merepotkan.
“Namanya juga perkawanan. Harus saling hadir. Banyak teman ke Banda Aceh, untuk berlibur. Saya semacam tour guide,” kelakarnya.
“Kalau sekadar ngopi-ngopi, sudah biasa. Sesekali butuh sisi lain. Mancing misalnya. Kebetulan ada yang ‘sefrekuensi’ hobi,” tambahya.
Matahari kian meninggi. Menyengat kulit. Tidak membuat mereka surut. Sensasi strike, mekarkan rasa penasaran. Membuat mereka betah berlama-lama di tepi laut Ulee Lheue.
Sayangnya, hari itu bukan hari keberuntungan bagi mereka. Tak banyak ikan yang berhasil dikail. Waktu zuhur kian dekat. Delapan sekawan bergegas untuk pulang.
Minimnya ikan yang didapat hari itu, mengundang penasaran bagi mereka untuk kembali ke Ulee Lheue. Menaklukan ikan-ikan di sana. Dengan sensasi strike yang akh!