MASAKINI.CO – Sanger. Kopi Aceh yang dicampur sedikit susu kental manis, sudah lama menjadi buah bibir. Kesukaan warga Aceh. Dipuji pelancong yang bertandang ke Serambi Mekkah. Serta meninggalkan kesan di lidah turis mancanegara.
Sanger dan cita rasa, telah banyak dibahas. Via tulisan singkat; blog atau berita. Cerita dari mulut ke mulut pun lazim. Namun mengabadikan Sanger menjadi sebuah literatur yang komprehensif, agaknya, masih berbilang jari.
Ibnu Syahri Ramadhan mencoba mengisi ruang itu. “Sanger: Racikan Kopi Khas Aceh dan Nilai-Nilai Kearifannya”. Adalah buah karya dalam bentuk buku, dari pria kelahiran Aceh Tamiang, yang kini berdomisli di Aceh Besar.
Karya pria berusia 36 tahun ini, menjadi salah satu pemenang sayembara naskah, Kajian Literasi Terapan Berbasis Konten Lokal 2023, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI).
Buku Sanger Aceh itu, berhasil mencuri perhatian para juri: Drs Supriyanto Prabowo, M.Si sebagai Ketua. Empat juri lainnya sebagai anggota: Gol A Gong, Duta Baca Indonesia. Nelwaty, S.S, M.Si, Dr. Achmad Fachrodji, M.Si, dan Dr. Nina Mayesti, S.S., S.Kom, M.Hum.
“Boleh itu. Tapi saya lagi di Jakarta. Besok saya pulang. Malamnya kita jumpa boleh ya,” kata Cek Din antusias, melalui telepon gengam.
Pemilik kedai kopi atau warkop Solong itu, menjawab permintaan Ibnu, untuk mewawancainya, April silam. Pemilik nama lengkap Syarifuddin MAg PhD ini, salah satu narasumber untuk naskah buku Ibnu.
Ibnu senang, mendapatkan respon positif. Apalagi tengat waktu penulisan sudah memasuki injury time. Begitu ia berbagi, saat ditemui masakini.co di ruang kerjanya, Selasa (12/11/2024) siang.
“Buku Sanger sengaja saya pilih karena masuk tema lomba. Terus, sepertinya belum ada buku khusus Sanger dari Aceh,” jelasnya.
Ia menjelaskan. Selama ini, Sanger terlanjur dipahami sebagai singkatan dari; sama-sama ngerti. Sedikit yang mau menelusuri kebenarannya. Atau mengkonfirmasi langsung kepada pelaku.
Hasil risetnya berhari-hari. Apa yang sudah sering didengar itu, benar adanya. Hal ini dikonfirmasi Cek Din. Dulu, ada satu meja kopi di Solong, ditempati 10 orang mahasiswa. Mereka ingin merasakan ‘kopi elit’ di tengah tipisnya dompet mahasiswa.
Kopi elit yang mereka maksud kala itu, kopi susu. Untuk mengakalinya, para mahasiswa tersebut membawa sendiri susu kental manis. Lambat laun, saat tak membawa, mahasiwa langganan Solong ini, ‘berkedip mata’ dengan peracik kopi atau barista Solong.
“Boleh dibilang, dari kesaksian narasumber hidup, Sanger itu ya hasil dari kongkalikong antara mahasiswa dengan barista,” ungkap Ibnu.
Seiring berjalannya waktu. Persekongkolan atas nama kopi, tercium Dek Chek, pemilik Chek Yukee kupi. Dulu, ia manajer di Solong. Diinterogasilah mahasiwa itu. Mahasiswa ‘lagend’ tersebut, orangnya masih ada sampai sekarang. Salah satunya, mantan penyiar di radio Flamboyan.
Alih-alih men-stop. Solong memilih bersikap bijak. Singkatnya, ada menu baru yaitu Sanger. Kopi dengan sedikit susu. Tapi cara pembuatannya tak sembarang. Takarannya musti pas, dengan saring yang diangkat tinggi-tinggi. Semuanya musti presisi.
Dari tetesan kopi di ujung saring, menyatu dengan susu di dasar gelas. Kelidan kedua bahan utama ini, menghadirkan sensasi rasa gurih; ada manisnya, tanpa meninggalkan rasa kelat kopi.
Di masa kini, Sanger, sudah dijajakan di berbagai warkop di Aceh.
“Uniknya, meskipun Sanger mulanya berasal dari Solong. Tapi tidak diklaim milik mereka. Narasumber mengaku senang, banyak warkop kemudian lahir dengan salah satu menu favorit, Sanger. Hitung-hitung terbukanya lapangan kerja,” bebernya.
Selama proses pembuatan buku, selain keterbatasan waktu, ada sejumlah tantangan lain. Seperti tak tidak ada literatur rujukan yang khusus menguliti Sanger.
Ibnu tak menyerah. Justru melecutkan semangat untuk menelusuri sendiri. Cek Din hanya satu, dari beberapa narasumber, yang ia gali informasi.
Salah satu temua menarik lainnya, ketika Ibnu menyuguhkan pertanyaan Hari Sanger Sedunia, Cek Din hanya tersenyum. Dan mengaku tidak tahu.
Setelah berhari-hari, mengetik ribuan kata. Jadilah buku Sanger. Tersusun 15 Bab. Dari total 190 halaman buku.
Sembari membuka E-book dari komputer kerjanya. Ayah dari Haruna ini merendah, kala mendengar pertanyaan: ini buku khusus Sanger pertama dari Aceh kan?
“Saya anggap ini sebagai buku pengantar saja. Saya berharap kajian tentang kopi Sanger dari Aceh, dikembangkan lebih dalam, oleh siapa saja,” harap Ibnu.
Baginya, buku Sanger tersebut memberikan kesan mendalam. Pertama, itu buku pertamanya. Kedua, dia bukan pecinta kopi. Justru penikmat kopi adalah istrinya, Risma. Keluarga ini punya tradisi tersediri, ngopi bersama di akhir pekan.
“Saya biasanya pesan teh hangat. Istri yang pesan Sanger atau kopi. Tak jarang saat pesanan tiba, oleh pramusaji terbalik diletakkan,” akunya, sambil terkekeh.
Dengan kehadiran buku tersebut. Ada semoga yang didoakan Ibnu: kelestarian Sanger sebagai bagian dari kuliner Aceh yang khas. Upaya menulis tentang Sanger, dipandangya sebagai jalan melestarikan Sanger lewat literasi.