MASAKINI.CO – Lampion-lampion merah tergantung di tiap sudut bangunan Vihara Dharma Bhakti. Ini merupakan tempat warga etnis Tionghoa beribadah.
Terletak di Jalan T. Panglima Polem, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, tempat ini ramai didatangi umatnya. Pagi hari perayaan Imlek 2576 kongzili gaun merah cerah dikenakan perempuan-perempuan etnis Tionghoa.
Di kawasan Peunayong memang tinggal beragam penduduk agama minoritas ini. Kulit putih kemerahan dan mata sipit menjadi penanda keberagaman.
Mereka hidup dengan rukun dan menghormati tanpa saling mengusik. Umat minoritas bebas beribadah menurut agama masing-masing meski provinsi berjuluk Serambi Mekkah itu menerapkan hukum syariat Islam.
Selain Vihara Dharma Bhakti, di Peunayong terdapat Vihara Buddha Sakyamuni, vihara Maitri dan Dewi Samudera. Ketiga vihara ini berdampingan dengan Gereja Protestan. Bahkan tak jauh dari situ, berdiri megah sebuah masjid.
Saban hari, kawasan Peunayong tak pernah sepi, sebab daerah ini menjadiĀ pusatĀ perdagangan di Kota Banda Aceh.
Keberadaan etnis Tionghoa di Aceh bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi bagian penting dari sejarah daerah ini.
Menurut akademisi Prodi Sejarah Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Mawardi, kehadiran etnis Tionghoa di Aceh pertama kali pada abad ke-17 Masehi.
Berdasarkan literatur sejarah, mereka mulai bermigrasi ke Aceh pada tahun 1875. Awalnya, kedatangan mereka dibawa oleh Belanda sebagai tenaga kerja dari luar untuk mengelola fasilitas militer.
Ketika pertama kali datang, hanya ada 190 orang etnis Tionghoa yang dibawa Belanda.
āNamun, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Belanda, jumlah mereka terus bertambah hingga mencapai 3.200 orang pada masa itu,” jelas Mawardi, Rabu (29/1/2025).
Lokasi Aceh yang strategis di pintu masuk Selat Malaka menjadikannya kawasan perdagangan internasional yang ramai.
Tak hanya sebagai buruh, para imigran Tionghoa juga tertarik untuk berdagang di wilayah ini. Akhirnya, banyak dari mereka memutuskan untuk menetap, membaur, dan menjadi bagian dari masyarakat Aceh.

Salah satu warisan nyata kehadiran etnis Tionghoa di Aceh dapat dilihat di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Nama Peunayong sendiri berasal dari bahasa Aceh, yaitu “peupayong,” yang berarti memayungi.
Awalnya, daerah ini hanyalah kebun kelapa. Namun, seiring waktu, kawasan tersebut berkembang menjadi pusat bisnis yang penting di Banda Aceh, khususnya bagi komunitas Tionghoa.
Sejak dulu Peunayong memang telah menjadi daerah internasional. Pada zaman kepemimpinan Sultan Iskandar Muda daerah ini dijadikan sebagai kota āspesialā.
Julukan spesial karena Sultan memberikan rasa aman kepada para tamu yang datang ke daerah itu. Bahkan tak jarang Sultan juga menjamu para tamu kerajaan yang datang dari Eropa maupun Tiongkok.
Di Peunayong, berbagai aktivitas perdagangan, kuliner, hingga budaya khas Tionghoa tumbuh subur. Hingga kini, kawasan tersebut menjadi simbol keberagaman di tengah mayoritas penduduk muslim.
Keberadaan etnis Tionghoa di Aceh selama ratusan tahun berlangsung tanpa konflik yang berarti. Sifat masyarakat Aceh yang terbuka dan gemar bermasyarakat menjadi salah satu faktor yang mendukung hubungan harmonis ini.
Meski Aceh menjalankan syariat Islam, warga Tionghoa tetap hidup nyaman dan tidak pernah terusik.
āMereka bahkan memiliki rumah ibadah serta organisasi etnis yang tumbuh tanpa gangguan,” ujar Mawardi.
Kehidupan damai ini mencerminkan prinsip penting dari penerapan syariat Islam di Aceh, yaitu menjamin kebebasan beragama dan menghormati keyakinan masyarakat lain.
Sikap saling menghormati inilah yang membuat etnis Tionghoa tetap merasa aman dan betah tinggal di Aceh.
Selain dalam sektor perdagangan, etnis Tionghoa juga mewariskan budaya dan tradisi yang memperkaya keragaman Aceh. Perayaan tahun baru Imlek, misalnya, menjadi momen yang dirayakan dengan penuh semangat oleh masyarakat Tionghoa di Aceh, yang kerap melibatkan interaksi dengan masyarakat lokal.
Kini, generasi muda dari etnis Tionghoa juga turut berkontribusi dalam berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, hingga seni. Mereka menjadi bagian dari pembangunan Aceh tanpa kehilangan identitas budaya mereka.
Sejarah panjang kehadiran etnis Tionghoa di Aceh menjadi bukti bahwa keberagaman dapat tumbuh harmonis di bawah naungan nilai-nilai agama yang menghormati perbedaan.