MASAKINI.CO – Badan pria itu gemetar saat sebilah rotan mendarat dipunggungnya. Mulutnya tampak komat-kamit melafalkan doa.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Begitulah sepenggal kata yang terucap.
Di bawah bangunan bulat yang lakab dikenal Taman Bustanussalatin, Kota Banda Aceh, itu empat orang pria berbaju putih tengah menjadi tatapan puluhan pasang mata. Mereka sedang dihukum cambuk.
Dua di antaranya mendapat hukuman cambuk 77 hingga 82 kali. Sebab terbukti melanggar Pasal 63 Ayat 1 Tahun 2014 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
DA dan AI disabet rotan karena tertangkap basah berhubungan badan sesama jenis atau liwath. Mereka diciduk warga pada November 2024 lalu di sebuah indekos di Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.
Dalam proses eksekusi cambuk, AI mendapat giliran pertama. Saat giring melangkah ke tempat eksekusi, badannya mulai tampak gemetar.
Pria bertopeng dan jubah berkelir coklat telah bersiap-siap. Saat aba-aba diberikan, algojo itu mulai melayangkan rotan ke punggung AI. Pukulannya terdengar nyaring.
Pada jeda usai 10 kali cambukan pertama AI diberi seteguk air. Lanjut pukulan ke 20, badannya yang semula tegap perlahan mulai lemas menahan sakit.
Petugas medis beberapa kali menghampiri untuk memastikan kondisinya. Ia tampak memicingkan mata.
Setelah sabetan rotan yang ke 82 dari algojo, pria itu nyaris ambruk ke lantai. Badannya terkulai lemas dan terpaksa dipapah petugas dibawa ke ruang istirahat.
“Ini pertama kalinya sejak 2022 saya menjabat, lama sudah tak ada uqubat cambuk bagi terpidana liwath,” kata Kepala Bidang Penegakan Syariat Islam Satpol PP-WH Banda Aceh, Roslina A Djalil, Kamis (27/2/2025).
Berbeda dengan AI, pasangannya DA disabet rotan sebanyak 77 kali. Meski badannya mungil, DA tampak lebih kuat menahan pukulan rotan sang algojo.
Tiap kali rotan mendarat ke punggung DA, sebagian warga yang menonton tampak menahan napas. Beberapa lainnya terlihat saling berbisik, seakan menyampaikan bahwa hukuman yang mereka saksikan itu adalah peringatan bagi semua.
Setelah cambukan ke 77, DA spontan langsung bersujud di lantai berlapis karpet biru itu. Dia tak peduli hiruk-pikuk orang di sekelilingnya. Pria yang masih menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh ini seakan menyesali perbuatannya.

Para petugas tak berani mengganggu DA. Mereka menunggu sesaat. Setelah selesai, dia baru dipapah ke tempat istirahat.
Dalam pelaksanaan hukuman cambuk aturan sangat dijaga ketat oleh mereka yang terlibat. Misalnya, pukulan harus sesuai dengan yang diatur dalam qanun. Para algojo pun dirahasiakan identitasnya.
“Hari ini kita hadirkan tiga algojo, sedangkan secara keseluruhan ada 20 lebih algojo di Satpol PP-WH Banda Aceh,” kata Roslina.
Jejak Tersembunyi Komunitas Pelangi
Belakangan Roslina mencium adanya praktik lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) atau komunitas pelangi yang beroperasi senyap di Banda Aceh. Dia menyebut mereka yang ada dalam komunitas ini saling bercakap lewat aplikasi pesan tertentu.
“Janji bertemu dibuat hingga akhirnya perbuatan liwath terjadi,” katanya.
Namun Roslina mengaku masih mencari-cari detail aplikasi apa yang digunakan komunitas tersebut. Jika nanti bukti sudah cukup kuat, aplikasi itu akan diblokir penggunaannya di Banda Aceh.
“Kami akan melakukan penelusuran lebih dalam. Bisa jadi nanti ada kebijakan dari pemerintah untuk memblokir aplikasi tersebut,” ujarnya.
Namun bukan itu saja yang dikhawatirkan Roslina. Ada ancaman lain yang mengintai yakni virus HIV/AIDS, terutama untuk AI dan DA.
Meski usai dicambuk mereka diperiksa dan dinyatakan belum menunjukkan indikasi terkena, tapi tak menutup kemungkinan beberapa waktu kemudian hasilnya lain.
“Bisa jadi dalam tiga hingga empat tahun ke depan, dampaknya baru terlihat,” ujarnya.
Bagi Pemerintah Kota Banda Aceh eksekusi cambuk di muka umum ini bukan sekadar hukuman semata. Melainkan bisa menjadi peringatan keras untuk semua agar tak menyalahi aturan Syariat Islam.
Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Banda Aceh, Ridwan, yang hadir menyaksikan eksekusi terpidana liwath itu, dengan nada tegas mengatakan tak ada tempat untuk komunitas pelangi di sana.
“Sekali lagi saya tegaskan bawah Banda Aceh bukan tempatnya,” ucap Ridwan.
Menurut Ridwan, agar praktik LGBT mangkir jauh dari Banda Aceh perlu mengembalikan peran vital keluarga.
“Kita harus kembalikan peran orang tua sebagai pembina utama dalam keluarga. Sistem kontrol terbaik itu adalah dari dalam rumah,” ujarnya.
Lewat pemahaman agama yang baik, edukasi yang tepat, dan pengawasan dari lingkungan, Ridwan meyakini LGBT bisa hilang di bumi Kutaraja.