MASAKINI.CO – Aroma segar daun cincau baru direbus menyebar di ruangan pabrik sederhana di Gampong Laksana, Kota Banda Aceh.
Di tengah kepulan uap hangat, seorang pria dengan tangan cekatan mengaduk cairan hitam pekat di dalam wadah besar.
Peluh bercucuran. Di sana ada lima pria lainnya. Ada yang membungkus daun cincau, merebusnya, dan ada yang tengah mencetak cincau dalam kaleng.
Seorang pria muda tampak bersemangat mengaduk rebusan air berwarna kehitaman yang merupakan bahan dasar pembuatan cincau hingga mencapai titik didih.
Setiap kali buih muncul di permukaan, ia sigap membuangnya ke tangki lain. Berkali-kali ia harus menghadapi hawa panas yang menyengat demi memastikan rebusan tetap bersih.
Setelah air mendidih, ampas daun cincau dipisah dari rebusannya. Cairan yang tersaring kemudian dipindahkan ke kukusan lain untuk dimasak kembali hingga mendidih.

Proses penyaringan pun diulang, memastikan tak ada sisa ampas yang tersisa. Kemudian dicampurkan dengan tepung kanji untuk merubah cairan itu menjadi cincau yang dapat dinikmati.
Usaha cincau milik Djoek Fa (67 tahun) bukan usaha baru. Usaha ini telah berkelindan menjadi sejarah perjalanan warisan keluarga yang mengakar lebih dari setengah abad.
Pria Tionghoa yang lahir dan besar di Tanah Rencong ini menjadi generasi ketiga dalam usaha pengolahan agar-agar hitam itu.
Usaha ini bermula dari tangan sang kakek di Gampong Baro, Pasar Aceh. Dinamai “Cincau Gampong Baroe”, merek itu masih melekat hingga kini, meski lokasi produksi telah berpindah ke Gampong Laksana.
Saat mengambil alih usaha dari sang ayah, Djoek Fa membawa pabriknya ke tempat yang lebih luas agar produksi bisa berkembang.
“Karena di Kampung Baro hanya ruko sempit, tahun 1997 sudah mulai saya urus,” katanya, Selasa (4/3/2025).
Dalam mengelola usaha warisan ini ia dibantu oleh putranya, Suwanto, serta enam pekerja lain. Ia terus memproduksi cincau yang telah menjadi bagian dari kuliner khas di Aceh meski badai ekonomi kerap menghampiri.
Cincau yang diproduksi Djoek Fa adalah warisan kuliner dari daratan Tiongkok yang telah beradaptasi dengan lidah masyarakat Aceh.
Di usianya yang tak lagi muda, Djoek Fa masih setia mengawasi setiap proses produksi. Baginya, cincau bukan sekadar bisnis, melainkan warisan yang harus terus dijaga.
Di bulan Ramadan, permintaan cincau Djoek Fa meningkat. Biasanya mereka hanya memproduksi 40 kaleng, tapi saat bulan suci itu tiba produksi mencapai hingga 400 kaleng.
“Naik drastis tapi harga tetap sama,” ucapnya.
Cincau menjadi makanan favorit yang kerap dicari masyarakat Aceh. Teksturnya kenyal dan lembut, warna hitam legam dan rasanya yang menyegarkan apalagi saat disajikan dalam es campur atau minuman manis berbasis santan.
Cincau serupa dengan agar-agar tapi ini dihasilkan dari ekstrak daun dari tanaman yang dikenal dengan ilmiah Mesona Chinensis.
Daun cincau yang dipakai Djoek Fa dibawa langsung dari Pulau Jawa. Sekali pembelian mencapai 1 ton daun.
“1 ton daun cincau tak bisa dipastikan sampai berapa lama, tergantung produksi cincau,” jelasnya.
Dengan harga jual Rp25 ribu per kaleng, cincau buatannya telah merambah pasar di seluruh kabupaten/kota di Aceh.
Para pedagang minuman, restoran, hingga warung kecil menjadi pelanggan setia Djoek Fa. Bahkan juga tak sedikit masyarakat yang sengaja datang langsung ke pabrik untuk membeli cincau dalam jumlah besar.
“Apalagi saat Ramadan seperti ini, para pedagang yang datang ke kita yang kemudian mereka jual kembali,” ungkapnya.

Namun dibalik kesuksesan membangun bisnis turun temurun warisan leluhur yang sudah ia geluti 20 tahun lebih, ekonomi masyarakat yang menurun menjadi kegalauan bagi pria ini.
Bagaimana tidak, bahan-bahan pembuatan cincau mengalami kenaikan di pasaran.
Katanya, kenaikan harga barang dalam sebulan terakhir ini semakin memperburuk kondisi.
Kendati demikian, Djoek Fa mengaku tidak buru-buru menaikkan harga jualannya. Selama Ramadan masih tetap mempertahankan harga semula.
Meski dia harus menyiasati dengan cara sedikit mengurangi ketebalan cincau untuk mengantisipasi menaikkan harga jual.
“Harapannya minat masyarakat untuk cincau ini selalu ada dan terus meningkat,” pungkasnya.