MASAKINI.CO – Amnesty International Indonesia dan Amnesty International Australia meminta Pemerintah Indonesia melindungi para pembela hak asasi manusia (HAM) dan menghindari hukuman apapun terhadap mereka. Baru-baru ini
mengemukan tuntutan pengembalian dana beasiswa terhadap pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan pihaknya mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan sanksi keuangan terhadap pengacara HAM yang selama ini aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat Papua.
“Ketimbang menjatuhi hukuman, Pemerintah Indonesia seharusnya mendukung upaya Vero dalam mengungkap dugaan pelanggaran HAM di Papua,” kata Usman mengutip laman organisasinya, Jakarta, Minggu (16/8)
Usman menambahkan tak seorangpun berhak menerima intimidasi karena berupaya melindungi hak asasi manusia.
“Jika LPDP tidak memiliki alasan kuat untuk meminta pengembalian dana yang dapat dibuktikan secara hukum, kita percaya bahwa ini adalah bentuk intimidasi dan kriminalisasi untuk melemahkan Veronica dalam mengungkap pelanggaran HAM di Papua. Intimidasi terhadap pembela HAM jelas merupakan pelanggaran HAM,” ungkapnya.
Usman menjelaskan, LPDP menyatakan sanksi keuangan dijatuhkan karena Veronica tidak kembali ke Indonesia setelah masa studinya berakhir. Di sisi lain, Veronica mengatakan ia sudah kembali ke Indonesia di 2018 untuk mengadvokasi beberapa kasus di Papua. Tetapi, LPDP menolak penjelasannya dan berpendapat bahwa Veronica belum lulus pada masa itu dan baru lulus pada bulan Juli 2019.
“Berdasarkan laporan-laporan media, banyak penerima dana dan alumnus LPDP bekerja ke luar negeri lalu tidak kembali ke Indonesia. Tetapi mereka tidak mendapatkan sanksi atas tindakan tersebut,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, bahwa hal ini bukan pertama kalinya Veronica menghadapi intimidasi. Selama dua tahun belakangan, ia sudah menghadapi pelecehan, intimidasi dan ancaman, termasuk ancaman pembunuhan dan pemerkosaan, atas segala aktivitasnya mengungkap pelanggaran HAM di Papua.
Veronica juga pernah dituduh melakukan penghasutan hanya karena mengunggah postingan Twitter tentang serangan terhadap asrama mahasiswa Papua pada tanggal 17 Agustus. Polisi menuduh dirinya menghasut dan melanggar Undang – Undangan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 160 Kitab Hukum Pidana, serta Undang-Undang Penghapusan Diskriminatif Ras dan Etnis, karena mereka menganggap unggahan itu sebagai berita palsu.
Amnesty telah menganalisa postingan Twitter Veronica Koman, yang mendokumentasikan pelanggaran HAM di Papua, serta menyimpulkan kriminalisasi terhadap Veronica di bawah UU ITE keliru dan menyalahgunakan hukum.
“Mereka yang berkuasa mencoba untuk membungkam pembela HAM. Mereka dipenjarakan karena menyuarakan kebenaran. Selama bertahun-tahun, mereka diancam, diserang, dan bahkan dibunuh,” lanjut dia.
Sementara itu Direktur Nasional Amnesty Australia, Sam Klintworth, menilai bahwa
Veronica memberi bantuan hukum kepada banyak aktivis politik Papua dan mengungkap dugaan pelanggaran HAM di Papua.
“Mengungkap dugaan pelanggaran HAM bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam mendukung kelompok-kelompok minoritas dan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila, yang dianggap sebagai dasar negara. Veronica dan semua pembela HAM harus dilindungi dan didukung,” kata Sam.
“Saatnya semua negara melindungi para pembela HAM dan memastikan bahwa mereka bisa turun ke jalan, mengekspresikan pandangan mereka secara damai,” tambah Sam.
Diketahui, Veronica diminta untuk mengembalikan dana beasiswa sejumlah Rp773 juta untuk mengganti biaya studi pasca sarjana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), sebuah program beasiswa di bawah koordinasi Kementerian Keuangan Indonesia. Veronica menempuh studi magister hukum di Australian National University (ANU) pada September 2016 dan lulus tahun lalu.[]