Dari Gerobak Mie Caluk ke Meja Pengadilan

Rahmat Jeri Bonsapia
Rahmat Jeri Bonsapia, pengacara sekaligus penjaja kuliner Mie Caluk. (foto: Masakini.co/ Alfath Asmunda)

Bagikan

Dari Gerobak Mie Caluk ke Meja Pengadilan

Rahmat Jeri Bonsapia
Rahmat Jeri Bonsapia, pengacara sekaligus penjaja kuliner Mie Caluk. (foto: Masakini.co/ Alfath Asmunda)

MASAKINI.CO – Belasan tahun silam dengan mobil L-300 yang ditumpanginya, Jeri sering singgah di Kecamatan Grong-Grong, Kabupaten Pidie, karena mobil penumpang lintas timur Aceh itu kerap memilih istirahat sejenak di sana.

Penumpang makan-minum sebelum mobil melaju kembali. Dan di situlah, lidah Jeri mencicipi Mie Caluk, penganan khas yang sudah cukup terkenal di Aceh. Pertemuannya dengan Mie Caluk terjadi sebab pemuda asal Arakundo, Aceh Timur itu kerap pulang kampung disaat libur kuliah.

Waktu itu Jeri sedang menempuh pendidikan di fakultas hukum, kampus Abulyatama. Dia masuk ke sana 2007 dan selang beberapa tahun kemudian tamat.

Lahir dari keluarga yang pas-pasan, oleh sebab itu semasa kuliah Jeri terbiasa banting tulang. Sifat mandirinya sudah terbentuk sejak kecil. Merantau ke Banda Aceh demi meraih cita-cita sebagai penegak hukum, dia wujudkan dengan gigih tak terperi.

Uang bulanan bertahan hidup dan biaya pendidikan dia cari sendiri. Waktu itu Jeri berjualan minuman serbuk aneka rasa yang dicampur es lalu diblender.

Bermodal itulah gelar sarjana hukum diraih. Tapi nasib tak langsung mujur. Sebagaimana mimpi para sarjana punya kerja tetap dan gaji bulanan. Sama seperti kebanyakan sarjana di Indonesia, kala tamat kuliah Jeri pun berjibaku menyandang status pengangguran karena minimnya lapangan pekerjaan.

Tapi dia tak ingin larut dalam dilema tersebut. Dia memutar otak dan tertuju pada pengalaman mencicipi Mie Caluk saat pulang kampung di masa kuliah dulu. Kuliner itu berkelindan di kepalanya sebagai bisnis usaha yang mungkin bisa menopang kehidupan lebih baik.

Jeri kemudian bertanya kepada sang ibu. Kebetulan ibunya adalah seorang penjual Pecel Sayur yang telah puluhan tahun berjualan di sebuah pasar di Aceh Timur.

“Saya tanya, ‘kalau kuah Pecel ditaruh sebagai kuah Mie Caluk apa bisa?’ ibu saya menjawab bisa,” kenangnya.

Ide pun mencuat di kepala Jeri. Lalu anak ketiga dari empat bersaudara itu balik lagi ke Banda Aceh.

Berbekal becak gerobak tahun 2014 dia buka usaha kuliner di dekat Masjid Raya Baiturrahman. Tempat itu bukan tanpa alasan dipilih, sebab salahsatu urat nadi kehidupan masyarakat Aceh dari sanalah bergerak. Sepelemparan batu dari masjid berdiri Pasar Aceh. Beragam macam barang dijual di sana. Orang mondar-mandir. Rupiah mengalir. Mie Caluknya laris.

Mie Caluk kuah pecel hasil modifikasi Jeri

Tangan Jeri seperti punya anugerah memasak apa saja kemudian bisa jadi enak. Mie Caluk buatannya, kalau kata orang Italia ‘numero ono’ sejak pertama eksperimen kuliner khas Pidie itu berhasil dia gagas. Jeri berjualan Mie Caluk dengan modifikasi yang cukup kentara; kuah Pecel dijadikan kuah Mie Caluk.

Sekilas bahan dan bentuk tak ada ubahnya dengan Mie Caluk kebanyakan. Dia beli mie tepung kiloan dan mie bihun yang digoreng pakai bumbu mie Aceh sebelum dijajakan. Juga ada mie yang nyaris seukuran kelingking orang dewasa, akrab disebut Mie Lidi, dia padu padankan di seporsi Mie Caluk.

“Mie Lidi ini ada yang saya goreng, ada juga yang saya rebus,” katanya.

Namun yang jadi pembeda Mie Caluknya adalah kuah dan kualitas. Jeri tak sembarang beri bumbu. Penyedap rasa dia haramkan. Dan sebenar-benar andalan pada Mie Caluknya adalah kuah Pecel.

Kuah dengan bahan utama kacang tanah ini dia pastikan betul-betul masak dengan sempurna. Segala macam rempah menyatu di sana. Pengetahuan tentang resep bumbu itu diakuinya dipelajari waktu dulu membantu sang ibu berjualan.

Lalu apa resep pamungkasnya? Kata Jeri, saat memasak kuah dia melempar irisan jeruk purut, tumbukan halus kencur dan gula aren. “Sebenarnya ini rahasia. Tapi sama abang saya bilanglah terus,” katanya terkekeh.

Saat merintis usaha di seberang Masjid Raya, Jeri menjual dagangannya satu porsi seharga 5 ribu rupiah. Pembeli bisa suka hati minta mie dicampur. Itu sudah dapat satu jumputan mie goreng, mie bihun, mie lidi, potongan timun, sayur kates, kerupuk, dan guyuran kuah pecel.

Tatkala sedang laris manis berjualan disana, dagangan Jeri terkena imbas pembangunan payung dan parkir bawah tanah Masjid Raya. Dia dengan puluhan pedagang lainnya tergusur.

Tak lama, nasib baik kembali menghampiri usai buah usaha tanya sana sini. Jeri mendapat lapak baru. Kali ini tak perlu ada becak. Cukup gerobak. Lapak itu di warung Kopi Budi, Lueng Bata arah jalan ke Batoh, Kota Banda Aceh.

Mulailah Jeri berjualan di sana sejak 2018 hingga kini. Saban pagi sampai dagangan tandas dia melayani para pemburu kudapan.

Sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (UMKM) kadang dia kewalahan dengan modal. Pernah usahanya hanya bisa menambal modal, tak dapat mengantongi untung. Terlebih sekarang beberapa bahan dagangannya naik melambung. Efek Pandemi Covid-19 kian memperparah.

Jeri mau tak mau menaikkan sedikit harga. Kini seporsi Mie Caluk dia bandrol dengan harga 8 ribu rupiah. Ukuran harga ini masih terbilang sangat ramah kantong. “Tapi kalau ada yang minta 5 ribu saja saya ladeni juga,” ujarnya.

Soal rasa, dia masih mempertahankan sebagaimana mula berjualan di emperan Masjid Raya. Kuah dengan model gaya Pecel masih diutamakan. Yang ditambah cuma potongan tahu goreng dan lontong. Itu pulalah yang bikin Mie Caluknya mendapat tempat di lidah penikmat yang singgah di warung Kopi Budi.

Namun ada hari-hari tertentu Jeri libur. Pelanggan hanya bisa gigit jari. Hari apakah itu?

Rahmat Jeri Bonsapia berjualan Mie Caluk

***

Suatu pagi, telepon genggamnya berdering. Rahmat Jeri Bonsapia yang tengah menyiapkan sepiring Mie Caluk pesanan pembeli terpaksa mengabaikan pekerjaan itu sebentar. Dia bergegas mengangkat telepon.

“Kamu mau ikut profesi? Kalau mau besok datang ke kampus ya,” ucap orang di seberang. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Jeri selain “siap!”.

Penelepon tersebut adalah dosen Jeri di kampus. Dosen itu mengabarinya bahwa sedang ada dibuka pendidikan advokat. Dia lantas tak melewatkan kesempatan itu untuk ikut.

Sebelumnya Jeri sempat menaruh kecewa dengan profesi pengacara. Sekalipun pendidikan yang diselaminya tak jauh-jauh dari profesi tersebut. kekecewaan itu bermula saat seorang keluarganya berurusan dengan hukum di pengadilan.

Jeri diminta tolong mencari pengacara. Dia lantas menghubungi seorang kenalan yang sudah lama menjalani profesi itu. Tapi si pengacara, belum apa-apa sudah membicarakan tarif. Jeri kecewa dengan sikapnya.

Pengalaman itulah yang membuatnya tak pikir panjang kala ditawari sang dosen ikut pendidikan advokat. Motivasinya jadi pengacara agar bisa menolong orang-orang susah.

“Enak kita kalau bisa bantu orang,” katanya.

Kesempatan ikut pendidikan profesi dijalaninya tak kurang dari 6 bulan. Kemudian Jeri ikut magang di kantor advokat, dan tepat 1 Desember 2020 dia diangkat dan disumpah. Sejak itu sudah beberapa kasus pernah ditanganinya. Mayoritas dari golongan orang yang kurang mampu.

“Alhamdulillah cita-cita saya terlaksana,” katanya bangga.

Saat ini Jeri tergabung dalam Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Dan kini dia mulai menjajaki ingin buka kantor advokat sendiri. Dia juga bercita-cita ingin lanjut pendidikan. Menurutnya, gelar sarjana yang kini disandang masih belum bisa meyakinkan klien menggunakan jasanya. “Minimal S2 baru mantap,” ujarnya.

Jeri bukan golongan advokat parlente, yang terkenal hidup serba mewah. Dia mengaku tak tertarik hidup begitu. Dia masih percaya diri berjualan Mie Caluk, meski kadang keesokan hari dengan pakaian jas rapi dibalut dasi dia sudah duduk di meja pengadilan.

Persinggungan Jeri dengan Mie Caluk mungkin terbilang cukup aneh bagi sebagian orang Aceh. Dia bukan putra asli Pidie, daerah asal muasal kudapan ini. Darah yang mengalir di tubuh pria 32 tahun tersebut bahkan terpaut ribuan kilometer dari Pidie.

“Bapak saya asli dari Biak, Papua. Sementara ibu yang berdarah Aceh, orang Aceh Timur,” katanya tersenyum.

Saat ini, dengan menyandang profesi pengacara bikin Jeri kewalahan mengatur waktu. Hari ini jualan, esok misalnya jika ada sidang di pengadilan, dia terpaksa libur. Perkara itu belum bisa diatasi, sebab belum ketemu orang yang pas diwarisi resep Mie Caluk hasil modifikasinya. Dilema inilah sekarang yang bikin Rahmat Jeri Bonsapia pusing.

“Harus fokus pada satu hal. Dan saya harus memilih.” [Alfath Asmunanda]

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist