Sengkarut Masalah Penggunaan Pukat Harimau di Laut Aceh

Ilustrasi kapal nelayan di Aceh. (foto: untuk masakini.co)

Bagikan

Sengkarut Masalah Penggunaan Pukat Harimau di Laut Aceh

Ilustrasi kapal nelayan di Aceh. (foto: untuk masakini.co)

MASAKINI.CO – Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (KuALA) meminta keseriusan Pemerintah Aceh mengawasi keamanan laut Aceh dari upaya-upaya perusakan yang dilakukan nelayan yang menggunakan pukat harimau.

Penangkapan nelayan diduga menggunakan pukat harimau oleh Kapal Pengawas Perikanan Hiu 08 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan, di perairan Aceh Timur pada Jumat (3/9/2021) lalu harus diambil sebagai momentum memberantas pukat harimau di laut Aceh.

“Penggunaan jaring trawl (pukat harimau) merupakan sekelumit masalah perikanan Aceh yang belum mampu diselesaikan secara serius oleh Pemerintah, sehingga kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pelaku usaha dengan cara meningkatkan skala usaha dan upaya penangkapan, walaupun penggunaannya bisa dipastikan beririsan dengan wilayah penangkapan nelayan kecil,” kata Sekjen KuALA, Gemal Bakri, Rabu (8/9/2021).

Dia menyebut, penangkapan kapal yang diduga menggunakan alat tangkap jaring trawl oleh KKP patut diapresiasi, namun juga perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak termasuk Jaringan KuALA untuk mengawal kasus ini.

Kendati demikian, Gemal menilai masih banyak kapal yang menggunakan alat tangkap dilarang karena selain melanggar ketentuan Undang-undang hal ini juga telah menjadi keresahan masyarakat terutama nelayan kecil, apalagi kapal-kapal tersebut kerap beroperasi di areal tangkapan nelayan tradisional.

“Bila kapal-kapal trawl ini dibiarkan terus menerus mengeruk dasar laut kita dan mengangkut apa saja yang dilewatinya, sangat besar kemungkinan hilangnya habitat-habitat ikan yang menjadi mata pencaharian nelayan-nelayan kecil,” ujarnya.

Dia mencontohkan kasus yang terjadi di kawasan Kuala Bugak Aceh Timur, katanya, masyarakat nelayan disana yang menggantungkan hidupnya sebagai pencari udang saat ini telah merasakan dampak buruk dari aktivitas kapal-kapal trawl tersebut.

“Kapal-kapal besar ukuran 20 GT telah beroperasi selama bertahun-tahun dan perlahan-lahan telah menekan aktivitas nelayan kecil di sana,” ungkapnya.

Pada akhirnya, tutur Gemal, nelayan kecil terusir dari wilayah kelola adat laut mereka sendiri. Karena jumlah kapal dan tekanan yang sangat besar, Panglima Laot setempat yang seharusnya memiliki kewenangan mengatur tata tertib penangkapan ikan juga tidak dapat berbuat banyak.

“Ini telah memicu konflik antar nelayan, dimana dalam catatan KuALA hal serupa telah terjadi berulang-ulang kali seperti di Aceh Timur, Aceh Barat dan Nagan Raya. Kekecewaan masyarakat, penegakan hukum tidak dapat menjadi efek jera untuk pengusaha-pengusaha yang bermain dengan memodali boat-boat nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak ‘fair’ ini,” katanya.

Pihaknya berharap, dengan penangkapan kapal nelayan yang menggunakan pukat harimau di Aceh Timur belum lama ini, itu bisa mengbangkitkan kembali semangat masyarakat, terutama nelayan kecil di dalam kawasan pengelolaan adat Panglima Laot.

“Pemerintah yang membidangi masalah kelautan ini bisa sinergis dengan berbagai pihak, supaya dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat bahwasannnya laut kita berdaulat. Bila terbukti (KM Lesmana dan KM. Budi jaya) melanggar aturan adat laot maka sudah selayaknya juga kedua kapal ini diproses secara adat,” tegasnya.

“Panglima Laot juga harus memanggil pemilik kapal dan menyelenggarakan sidang adat laot serta menerapkan mekanisme pemberian sanksi sesuai kearifan lokal yang berlaku di sana. Jangan sampai hanya anak buah kapal (ABK) saja yang menjadi korban,” tutupnya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist