Dingin di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut, tak menghentikan langkah para nelayan. Satu persatu warga pantai Lut Tawar, Takengon, Aceh Tengah mengayuh perahu menebar jala. Di danau dataran tinggi Gayo, perburuan ikan depik dimulai sebelum matahari terlihat.
Fahreza Ahmad/Freelance Photographer
Sayangnya. “Ikan depik sudah jauh berkurang,” kata Aman Neli, warga desa Toweren. Penyebabnya Mujair. Ikan yang dibudidayakan sebagian warga tersebut dilepaskan serampangan.

Akibatnya, menjadikan depik spesies terancam punah (IUCN Red List) masuk dalam kategori critical endangered. Dalam dua dekade terakhir, produksi depik hanya tersisa 83,5 persen.

Depik merupakan ikan endemik, tergolong sempit penyebarannya. Permasalahan danau Lut Tawar berawal pada awal 1990-an. Hasil tangkapan (catch per unit effort) ikan depik turun dari rerata 1.17 kg/m2 unit jaring di era 1970-an hanya menjadi 0.02 kg/m2 unit jaring pada 2009. Itu artinya turun drastis 98,3 persen selama tiga dekade terakhir.

Sejak puluhan tahun danau ini menjadi tumpuan rezeki nelayan di sekitar danau. Hampir 400 warga setempat yang berprofesi sebagai nelayan. Sekitar 225 orang menggantungkan nasib dari hasil penangkapan ikan depik. Hanya 150
lainnya yang menggantungkan hidupnya dari budidaya ikan keramba.

Minat warga konsumsi ikan depik sangat tinggi. Satu bambunya ikan depik dihargai sekitar Rp60 ribu. Namun,
belakangan diketahui pendapatan rata-rata nelayan depik hanya sekitar Rp51 ribu setiap hari.

Nelayan Depik bermodalkan Leuge (dayung) dan perau (perahu), kalah bersaing dengan nelayan ikan keramba.

“Sudah sejak nenek moyang kami mengais rezeki dari depik, danau ini takkan bertahan tanpa depik. Kami tidak terbiasa dengan ikan nila atau mujair. Cukup depik sudah bisa menghidupi kami,” kata Aman Neli.



Discussion about this post