Gang sempit di Jalan WR Supratman, Banda Aceh menyimpan sepotong cerita lawas, Aceh yang terbuka dan toleran. Di pasar sayur ini warna kulit, etnis bahkan agama membaur dalam kerukunan.
M Aulia/Freelance Photographer
Tercatat di lembar sejarah, Aceh dan Tionghoa sudah intim sejak abad ke-17 Masehi. Pedagang musiman asal China saat itu datang bergantian. Sebagian memilih menetap di kuta raja, persis di tepian pelabuhan. Kawasan itu kini disebut Peunayong.
Sedikitnya 5 ribu jiwa warga etnis Tionghoa menetap di Peunayong. Mereka generasi empat dan lima dari buyutnya yang tiba di Aceh abad Ke-19. Mayoritas yang tersisa di Banda Aceh merupakan suku Khek, Kong Hu Cu, Hai Nan dan Hok Kian.
Sekitar tahun 2015 lalu, warga Tionghoa menyematkan gampong keberagaman di Peunayong. Tujuannya sederhana, mengabari pada dunia mereka telah hidup rukun sejak puluhan tahun.
Di pasar pagi ini, gelombang aktifitas telah dimulai jauh sebelum Subuh. Segala rempah, sayur dan hasil kebun lainnya tumpah di pasar.
Warga etnis Tionghoa mayoritas berdagang kuliner hingga obat-obatan. Sementara etnis Aceh, ramai berdagang hasil pertanian dan tangkapan laut. Harmonisasi yang tumbuh alami.
Discussion about this post