MASAKINI.CO – Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian LHK melakukan peletakan batu pertama pembangunan Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) atau Suaka Badak Sumatera di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Kamis, (11/11/2021).
Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian LHK, Jefry Susyafrianto, mengatakan peletakan batu pertama pembangunan SRS di Kabupaten Aceh Timur tersebut sebagai tahap awal.
“Ini adalah sebagai tahap awal proses pembangunan sarana prasarana pendukung pengelolaan SRS dan merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Rencana Aksi Darurat Penyelamatan Populasi Badak Sumatera,” katanya.
Jefri menyebut, pembangunan SRS ini ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: SK.421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018 serta menjadi implementasi dari upaya pengawetan jenis khususnya badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Provinsi Aceh.
“Untuk menghindari bahaya kepunahan, menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis, memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem,” sebutnya.
Dia menjelaskan, SRS tersebut dibangun oleh Konsorsium Badak Utara yang terdiri dari Forum Konservasi Leuser (FKL), Aliansi Lestari Rimba (ALerT), Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB University, dengan dukungan dari TFCA-Sumtera serta dari Bupati Aceh Timur dan Steering Committee yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor:SK.95/KSDAE/KKH/KSA.2/5/2021.
“Kelancaran dan keberhasilan proses pembangunan SRS di Kabupaten Aceh Timur didasarkan atas konsistensi komitmen serta dukungan dari semua pihak. Kendala-kendala dalam proses pembangunan SRS ke depan diharapkan dapat diatasi dengan kebersamaan dan musyawarah semua pihak,” jelasnya.
Sementara itu Bupati Aceh Timur, Teungku Hasballah M. Thaib, mengatakan sangat mendukung pembangunan SRS tersebut.
“Izin lokasinya semua kita dukung penuh, pada awalnya masyarakat di sini juga tidak memahami semua persoalan yang ingin melakukan pembangunan suaka badak. Ketika kita jelaskan maka masyarakat memahaminya,” ungkapnya.
Dia menuturkan, Pemerintah Aceh Timur akan berjuang penuh agar masyarakat dapat hidup berdampingan dengan satwa, sembari ekonomi jalan. “Satwa selamat dan hutan juga selamat,” ujarnya
Sementara itu, Direktur Tropical Forest Conservation Action (TFCA) – Sumatera, Samedi, mengatakan kondisi populasi badak saat ini di Indonesia nyaris seperti kondisi di Malaysia dulu, yang kini habitat badak di sana telah punah.
“Jangan sampai pada ulang tahun ke 100 Republik Indonesia nanti, Badak Sumatera sudah tidak ada, seperti di Malaysia sekarang. Makanya SRS ini sangat penting kita bangun. Kita juga berharap pembangunan ini bermanfaat bagi masyarakat sekitar sehingga ada timbal baliknya,” kata Samedi.
Dari hasil kegiatan monitoring terhadap kantung-kantung populasi Badak Sumatera di Pulau Sumatera, menunjukan bahwa ekosistem hutan di Provinsi Aceh merupakan satu-satunya habitat yang terbukti masih menjadi habitat Badak Sumatera liar, sehingga diharapkan pelaksanaan pengelolaan SRS ke depan dapat menjadi wahana kebersamaan semua pihak dalam upaya pelestarian Badak sumatera sebagai aset hayati kebanggaan masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Untuk diketahui, Badak Sumatera merupakan salah satu jenis satwa liar dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi.
Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, Badak sumatera berstatus Critically Endangered atau spesies yang terancam kritis, beresiko tinggi untuk punah di alam liar.