Atraksi Budaya Penguat Toleransi di Serambi Mekkah

Umat Hindu di Banda Aceh melaksanakan ritual Panguni Uthiram. (foto: dok masakini.co)

Bagikan

Atraksi Budaya Penguat Toleransi di Serambi Mekkah

Umat Hindu di Banda Aceh melaksanakan ritual Panguni Uthiram. (foto: dok masakini.co)

MASAKINI.CO – Medio 2018 lalu di bantaran Krueng Aceh berkumpul ratusan orang. Mereka hendak menggelar sebuah hajatan agama di tepi sungai itu. Krueng Aceh adalah sebuah sungai yang berjarak hanya sepelemparan batu dari Pasar Peunayong, Kota Banda Aceh. Sungai ini telah menemani jalannya peradaban masyarakat Aceh sejak masa kerajaan dulu.

Belakangan sungai tersebut bukan semata memberi manfaat kepada masyarakat Aceh yang mayoritas memeluk agama Islam. Tapi juga memberi nilai untuk agama lain. Salah satunya komunitas Hindu di Aceh.

Hidup berdampingan antar pemeluk agama kerap dianggap tak mungkin terjadi di provinsi ujung barat Pulau Sumatra ini. Banyak orang melabel Aceh sebagai daerah konservatif. Itu lantaran menerapkan hukum Syariat Islam. Persepsi orang luar berkembang liar. Jika disederhanakan intinya lebih kurang begini; ‘Aceh tertutup untuk agama dan budaya lain selain Islam’. Sebuah penilaian bak pepatah jauh panggang dari api!

Jika tak percaya berkunjunglah ke Aceh dan jumpai Rada Krisna untuk bertanya. Dia seorang tetua komunitas Hindu etnis Tamil di tanah Serambi Mekkah. Selain bebas beribadah, perayaan budaya agama Hindu pun bisa dilakukan di Aceh. Tak ada yang mengusik. Bahkan masyarakat Aceh antusias ikut menonton.

Nggak nyangka begini. Salut. Mayoritas dan minoritas saling menghargai,” kata Dewi Sartika. Dia berasal dari provinsi tetangga Aceh, Sumatra Utara. Rasa takjub Dewi itu datang ketika melihat pertunjukan Panguni Uthiram di bantaran Kreung Aceh. Sebuah ritual umat Hindu untuk merayakan kemenangan Dewa Murugan.

Saat ritual itu berlangsung banyak umat Hindu bikin nazar. Misalnya, nazar berharap diberi kesembuhan dari penyakit diderita. Atau juga, melepas sial tubuh yang dilarung ke Krueng Aceh. Berharap sial terbawa arus sungai. Diiringi tabuhan gendang, pujian sesembahan untuk sang dewa menggema ketika proses ritual berlangsung.

Selepas itu, rangkaian Panguni Uthiram masuk ke atraksi budaya yang nyaris mirip seperti debus. Bagian ritual ini paling ditunggu oleh masyarakat. Beberapa orang pria bertelanjang dada sontak jadi magnet menarik perhatian pengunjung.

Sekujur wajah para pria itu telah tertancap besi-besi sepanjang satu meter. Seorang lainnya, pada bagian punggung terpacak belasan besi yang dirangkai serupa ekor burung merak.

Sebelum besi-besi ditusuk, air suci telah lebih dulu dipercik ke wajah dan sekujur tubuh para pria tersebut. Air ini mengandung banyak ramuan. Sejurus kemudian, pada bagian tubuh yang ingin ditancap besi dioles bubuk putih menyerupai tepung.

Mereka yang menusuk tubuh pakai besi ini merupakan orang-orang yang bernazar pada perayaan Panguni Uthiram. Umat Hindu etnis Tamil percaya hal itu akan membawa berkah. Dewa bakal mengabulkan permintaan.

Namun, adegan itu banyak pengunjung yang tak sanggup menatap dan memilih memalingkan muka. Pertunjukan ekstrem ini bikin nyali ciut.

Warga Hindu di Banda Aceh melaksanakan ritual Panguni Uthiram. (foto: dok masakini.co)

Kelar adegan tusuk-menusuk di bantaran Krueng Aceh, peserta ritual diarak menuju kuil Palani Andawer. Letaknya di jalan Keudah. Umat Hindu Tamil di Banda Aceh dan yang datang dari daerah lain, mengekor sambil menjinjing sandal di belakang mereka yang bernazar.

Rupanya, tak boleh ada peserta ritual yang boleh pakai sendal. Alas telapak kaki dilepas saat menuju kuil. “Ini namanya jalan suci,” terang Rada Khrisna.

Masyarakat Aceh yang penasaran pun turut ikut arak-arakan itu. Tak sedikit yang mengabadikan momen pakai handphone. Warga bermukim di jalan Malem Dagang, tetangga dekat Keudah, pun berhamburan keluar rumah menyaksikan “tetangga beda iman” mereka tengah merayakan Panguni Uthiram.

Reyhan Vania salah satunya. Dia mengaku sudah terbiasa hidup berdampingan dengan pemeluk agama Hindu di Banda Aceh. Mereka saling menghargai. Toleransi di pupuk lewat kegiatan sosial kemasyarakatan.

Dia menampik pendapat umum yang menganggap masyarakat Aceh tak toleran terhadap agama lain. “Main-main dulu dong kemari untuk lihat lebih jelas, hehe.. hehe..,” ujarnya tertawa kecil.

Rada Krisna juga punya pendapat yang sama. Sejak tahun 1934, saat pertama moyangnya berlabuh di Aceh, tak ada yang mengusik keberadaan mereka. Kehidupan masyarakat Hindu diterima, bahkan difasilitasi tempat ibadahnya. Kuil Palani Andawer bukti jejak sejarah tersebut.

“Orang-orang Aceh sudah toleran bahkan sejak Indonesia belum lahir,” ungkapnya.

Meski kini umat Hindu Tamil di Banda Aceh tak kurang dari 20-an orang, Rada bilang mereka cukup nyaman untuk bermukim. Bencana gempa dan tsunami hampir dua dekade silam, salah satu sebab menyusutnya populasi warga Hindu di Aceh.

Wilayah Keudah, pemukiman umat Hindu di Banda Aceh, rata disapu gelombang tsunami. Banyak yang menjadi korban. Selain itu, mereka yang selamat dari bencana, trauma untuk kembali dan menata hidup di Tanah Rencong. “Sebagian pindah ke Medan dan wilayah Sumatra lainnya,” sebut Rada Krisna.

Ragam budaya dari lintas agama yang ada di Aceh, sayangnya belum dilirik pemerintah sebagai peluang wisata. Padahal, Panguni Uthiram umat Hindu Tamil ini misalnya, jika saja dikemas sebagai festival budaya tahunan, bukan tak mungkin bisa mengerek kunjungan wisatawan ke Aceh. Terutama umat beragama Hindu daerah lain di Indonesia, atau bahkan dari mancanegara. Keuntungan lainnya, persepsi ‘Aceh daerah tak toleran’ runtuh dengan sendirinya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist