Saudah Diantara Rotan dan Medan Palagan

Saudah pedagang kerajinan rotan di Gampong Kueh, Lhoknga, Aceh Besar.(Rino Abonita/masakini.co)

Bagikan

Saudah Diantara Rotan dan Medan Palagan

Saudah pedagang kerajinan rotan di Gampong Kueh, Lhoknga, Aceh Besar.(Rino Abonita/masakini.co)

MASAKINI.CO – “Ayo, masuk…,” seseorang memanggil Saudah agar bersembunyi ke dalam rukonya.

Saat itu sedang terjadi kontak senjata antara pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan tentara Indonesia di kawasan pasar Sigli. Ia tidak ingat tahun berapa, yang pasti siang itu pasar seketika bersulih jadi medan palagan.

Letusan senjata api saling sahut, penduduk kocar-kacir. Orang-orang mencari tempat sembunyi, menghindari peluru yang sekonyong-konyong bisa menyambar kepala.

Tahun itu Aceh masih dirundung konflik bersenjata. Tembak-menembak bisa saja terjadi di lokasi yang tidak disangka-sangka seperti pasar.

Saudah sendiri, sebelum terjebak dalam situasi itu, datang jauh-jauh dari Aceh Besar untuk menjajakan pelbagai anyaman rotan ke sana. “Saya naik mobil panjang (bus), terus diturunkan di pasar,” tuturnya.

Ia berkeliling mencari pembeli sembari memikul serbaneka kerajinan rotan. Mulai dari keranjang, jambangan hingga tudung saji.

“Di sini penuh…,” kenang Saudah, mengangkat kedua tangannya, seakan ada setumpuk tudung saji di sana.

Malam harinya, Saudah menginap di tempat saudara. Keesokan harinya baru lanjut berkeliling menawarkan barang dagangan.

Saudah pedagang kerajinan rotan di Gampong Kueh, Lhoknga, Aceh Besar.(Rino Abonita/masakini.co)

Berhadapan dengan kontak senjata seperti di Sigli tidak akan menahan kaki Saudah. Ia melanglang buana seantero Aceh berminggu-minggu, menjinjing barang dagangan, kendati provinsi itu tengah dilanda perang.

“Yang tidak boleh tinggal itu ini…,” Saudah mengacung-acungkan KTP yang ada di genggamannya.

KTP jadi sesuatu yang wajib dibawa ke mana-mana semasa Darurat Militer berlaku di provinsi paling barat Indonesia. Kala itu dikenal yang namanya “KTP Merah Putih”.

KTP Merah Putih hanya berlaku di Aceh. Kepemilikan kartu identitas, yang saking lebarnya mesti dilipat agar pas di dompet, itu jadi keniscayaan jika tidak ingin dicap berafiliasi dengan separatisme.

Pos-pos militer tersebar di mana-mana untuk memverifikasi identitas. Namun, Saudah juga pernah ditahan di pos yang dijaga oleh GAM.

“Saat itu, saya tidak diizinkan lewat ke Aceh Jaya. Saya mau jualan ke sana,” kata Saudah, yang sempat terlibat adu mulut dengan orang tersebut.

Saudah bersikukuh agar orang yang menahannya menghubungi seseorang dengan nama yang diberikan olehnya. Berkat nama tersebut Saudah pun diizinkan lewat.

“Ia juga pejuang GAM wilayah itu. Pas ditelpon, dibilang mengapa ditahan, itu, kan saudara saya!” tutur dia.

Penggalan kisah itu diceritakan oleh Saudah saat ditemui masakini.co di salah satu gerai kerajinan rotan Gampong Kueh, Lhoknga, Aceh Besar, belum lama ini.

Kini Saudah sudah terhitung nenek-nenek. Suaranya terdengar berat dan berayun, begitu pula langkahnya.

Gerai itu berada tepat di sisi kanan gapura Gampong Kueh. Dibanding yang lain, gerai miliknya terkesan yang paling reyot meski tidak kentara.

Pelbagai jenis anyaman rotan ditata di atas dipan membelah dua pintu kecil gerai kayu tersebut. Beberapa di antaranya digantung, sebagian lagi menempel ke dinding.

“Yang itu kebanyakan jadi tempat lampu,” ia menunjuk salah satu anyaman rotan yang tergantung.

“Kalau yang itu, tempat bumbu-bumbuan. Cabe, bawang, dan lainnya,” tambahnya.

Anyaman-anyaman tersebut dijual dengan harga bervariasi. Paling murah dihargai Rp10 ribu, termahal mencapai Rp200 ribu.

Rata-rata anyaman tersebut merupakan buatan Saudah sendiri. Ia membuatnya dengan sistem massal seperti pabrikan yang dirajut per bagian.

Setiap bagian lantas akan direkatkan dengan bagian pelengkap yang juga sudah dipersiapkan dalam jumlah banyak. Cara seperti ini, menurutnya, akan memangkas waktu dan jauh lebih efisien.

Adapun rotan yang menjadi bahan utama kerajinan tangan dibelinya dari pemasok. Ada dua jenis rotan, sebut Saudah: rotan lokal (setempat) dan luar.

Rotan yang didatangkan dari luar memiliki harga jauh di atas rotan lokal. Jika rotan lokal seharga Rp15 ribu per kilo, rotan luar Rp50 ribu per kilo.

“Rotan pitrit…,” Saudah menyebut nama jenis rotan yang dipasok dari luar.

“Namun, mesti direndam dengan air terlebih dahulu sebelum dibengkokkan,” tambahnya.

“Kalau rotan kita, sih enggak. Bagus rotan kita,” tindihnya lagi, dengan raut muka merendahkan.

Kerajinan rotan di Gampong Kueh, Lhoknga, Aceh Besar.(Rino Abonita/masakini.co)

Di gerai Saudah sebenarnya terdapat beberapa benda yang dipasok dari luar. Seperti cermin, aneka kerajinan tanah liat, serta hiasan simpai yang dikenal dengan nama dream catchers atau penangkap mimpi.

Keberadaan benda-benda tersebut jadi pemandangan yang cukup menarik dari deretan gerai anyaman rotan di sepanjang jalan Gampong Kueh. Cermin yang bulat seperti bulan purnama serta bulu-bulu hias penuh warna, seakan berada di dunia imaji.

Sayangnya, ungkap Saudah, sekarang jumlah pembeli sudah tidak seperti dulu. Sebelum Aceh damai, keuntungan neto per minggu yang didapat bisa mencapai ratusan ribu.

“Sekarang, sehari kadang tidak ada pembeli sama sekali,” keluh dia.

Jumlah pesaing serta lokasi boleh jadi adalah faktornya. Apalagi pada hari libur, gerai anyaman rotan di Lhoknga riskan untuk dikunjungi pembeli.

Itu karena daerah tersebut seketika bersulih menjadi lintasan paling sibuk. Dijejali pengendara yang hendak menuju ke pelbagai lokasi wisata pantai.

Saudah sendiri berharap pengrajin rotan seperti dirinya mendapat sokongan dari pemerintah. Entah dalam wujud apa, ia enggan menjawab, hanya tersenyum.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist