Tenun Aceh, Dikenal di Selat Malaka Hingga Diincar Belanda

Salah satu kitab yang berisi tentang tenun Aceh.(Riska Zulfira/masakini.co)

Bagikan

Tenun Aceh, Dikenal di Selat Malaka Hingga Diincar Belanda

Salah satu kitab yang berisi tentang tenun Aceh.(Riska Zulfira/masakini.co)

MASAKINI.CO – Bait-bait naskah kuno Arab Jawi itu ditutup benang merah, hitam dan coklat. Menurut pemiliknya, Cek Midi, “kitab ini dari abad 17 masehi.”

Pria bernama lengkap Tarmizi Abdul Hamid ini menyimpannya dalam lemari kaca setinggi 4 meter. Saban hari ia membersihkannya dari debu.

Ia miliki tiga kitab bukti sejarah tenun Aceh. “Kitab yang cover merah ini bernama Akbarul Akhirah,” sebutnya. Sampulnya dari benang sutra, dikait rapi bermotif Pucok Reubong.

Dua kitab lainnya, kitab Nahwu dan Tafsir Arab yang kedua memiliki motif salur pada bagian sampulnya.

Cek Midi menyebutkan tenun telah lama dikenal di Aceh. Populer di era kerajaan Sultan Iskandar Muda. Kreativitas pengrajin Aceh mulai diakui kala itu, hingga bangsawan mulai menggunakan tenun sebagai pakaian.

“Dulu hanya orang kerajaan dan bangsawan yang mampu memakai tenun,” ungkapnya.

Ada peran perempuan-perempuan Aceh dalam menyusun benang hingga jadi selembar kain. Hingga ilmu menenun tersebut terus diwariskan lintas generasi.

“Ini kreativitas perempuan Aceh,” ucapnya.

Pada abad ke 17 Masehi, sebut Cek Midi, perempuan Aceh membuat tenun menggunakan teupeun, alat tradisional berbahan dasar kayu. “Biasanya sering dibuat untuk selendang atau ija sawak.”

Bahan baku kain tenun yang digunakan dari kapas, serat nenas, sutra dan terakhir benang. Benang emas yang digunakan didatangkan langsung dari Eropa. “Umumnya didatangkan dari China dan Turki,” katanya.

Kolektor manuskrip Aceh, Tarmizi Abdul Hamid.(Riska Zulfira/masakini.co)

Selat Malaka juga memiliki peran sebagai jalur pemasok benang. Jalur Sutra namanya. Jalur ini merupakan jalur penghubung yang mempertemukan antara pedagang yang berasal dari barat dan timur.

“Aceh memegang peran penting di jalur sutra malaka sebagai transportasi laut untuk rempah,” terang Cek Midi.

Konon pertukaran barang dengan barang tak dilakukan dengan mata uang, namun dilakukan secara barter.

Lama berselang, pada masa penjajahan Belanda masuk Aceh, tenun menjadi salah satu karya yang mampu memikat hati para penjajah Belanda.

Ketertarikan Belanda untuk memiliki tenun diwujudkan dalam festival. Karya pengrajin diperlombakan.

“Kreativitas orang Aceh dicari yang paling bagus untuk dibawa pulang ke negaranya,” kata Cek Midi.

Motif yang diciptakan cukup beragam, namun orientasinya pada flora seperti dedaunan dan bunga. “Kita tak pernah melihat ada motif yang menjurus ke binatang,” ucap Cek Midi.

Pucoek Reubong yang menjuntai motif yang paling diminati hingga kini. Sebagai kolektor manuskrip, Cek Midi menaruh harapan agar tenun Aceh tetap lestari.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist