MASAKINI.CO – Dua dekade pasca perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia yang diperingati tiap 15 Agustus, eks kombatan kembali menyoroti masih banyaknya poin substansial dari perjanjian damai yang belum dijalankan secara utuh, mulai dari persoalan bendera Aceh, batas wilayah, kewenangan khusus, hingga realisasi lahan untuk mantan kombatan.
Mantan kombatan GAM, Suadi Sulaiman atau yang lebih dikenal dengan nama Adi Laweung, menyampaikan butir-butir MoU Helsinki harus segera dituntaskan.
“Ini adalah kendala serius yang tidak boleh terus dibiarkan. Kita terus mendorong ini diselesaikan, agar perdamaian Aceh tidak sekadar simbolis, tapi benar-benar berkeadilan,” kata Adi, Rabu (6/8/2025).
Adi juga menyinggung peran penting pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, untuk segera menyusun daftar inventaris poin-poin mana saja dari MoU Helsinki dan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang belum dijalankan.
Ia mendorong agar proses revisi UUPA yang sedang dibahas tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar mengakomodasi semangat dan janji dari perjanjian damai tersebut. Dengan kepemimpinan baru di bawah Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhullah dapat menjadi momentum yang tepat.
Selain itu, poin paling krusial lainnya menurut Adi Laweung adalah persoalan lahan. Ia menekankan pentingnya keterlibatan serius Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam menyelesaikan distribusi lahan kepada eks kombatan dan korban konflik.
“Bahkan lahan-lahan di beberapa daerah sekarang ini sudah ada lahan tapi tidak utuh. Misalnya permasalahan Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak difungsikan tapi tetap diklaim. Ini harus ditindak tegas, terutama yang izinnya sudah expired,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar kepala kantor wilayah (Kakanwil) BPN Aceh yang akan ditunjuk ke depan berasal dari putra daerah, terutama mereka yang telah lolos seleksi asesmen nasional.
Menurutnya, kementerian harus berani menempatkan sosok yang tidak hanya kompeten, tapi juga memiliki keberanian dan integritas untuk menegakkan poin-poin MoU, termasuk menindak tegas penyalahgunaan HGU.
“Putra Aceh lebih memahami kultur dan kompleksitas wilayahnya. Mereka juga punya kedekatan komunikasi dengan KPA dan tokoh-tokoh lokal, yang penting untuk mempercepat proses penentuan dan distribusi lahan,” ujar Adi.
Ia menegaskan bahwa perdamaian yang sejati bukan hanya tentang tidak adanya perang, tetapi hadirnya keadilan, pemulihan hak, dan pengakuan terhadap peran Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Jangan sampai perdamaian yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata ini hanya menjadi seremoni. Ini soal keadilan yang ditunda, dan penundaan keadilan sama saja dengan penyangkalan atas damai itu sendiri,” pungkasnya.
Adi Laweung berharap kepemimpinan baru ini bisa membawa semangat baru untuk menuntaskan pekerjaan rumah yang tertinggal dalam dua dekade damai ini.
“Dalam kampanye mereka, isu lahan sangat menonjol. Kini saatnya membuktikan komitmen itu,” tuturnya.