MASAKINI.CO – Dua aparatur sipil negara (ASN) di Aceh yang ditangkap Densus 88 Antiteror Polri pada Selasa (5/8/2025) disebut tidak tergabung dalam kelompok radikal.
Menurut pengamat terorisme sekaligus Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Al Chaidar Abdurrahman Puteh, kedua ASN yang diamankan tersebut terafiliasi dengan salah satu jamaah Negara Islam Indonesia (NII) faksi MYT yang lebih fokus pada kajian eskatologi ketimbang aksi kekerasan.
“Mereka sebenarnya tidak radikal dan tidak melakukan kekerasan. Kegiatan mereka lebih kepada pengajian internal membahas hal-hal teologis seperti eskatologi,” kata Al Chaidar saat dikonfirmasi pada Rabu (6/8/2025).
Kesadaran eskatologis yang mereka yakini hanya bertujuan menyelamatkan aqidah Islam saja, tanpa bermaksud menyerang pemerintah atau masyarakat sipil.
Kata Chaidar, penangkapan ini disebut sebagai bagian dari pengembangan kasus jaringan terorisme lintas daerah yang sebelumnya terungkap di Jambi, Palembang, Lampung, Bengkulu, Bandung, dan Jakarta.
“Hasil disertasi saya menemukan ada 18 faksi dalam tubuh NII. Masing-masing mengklaim sebagai yang paling sah. Faksi MYT adalah salah satunya, dan inilah yang aktif di Aceh,” ujarnya.
Menurut dia, kehadiran faksi ini di Aceh relatif kecil dan tidak menunjukkan aktivitas mencolok. Jamaahnya hanya berjumlah puluhan, dan aktivitas mereka tidak melanggar hukum secara langsung.
“Di Aceh, mereka hanya satu faksi. Tidak sampai ratusan orang. Penampilan pun biasa, tidak berbeda, dan mereka masih bisa beraktivitas sebagai ASN,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa ajaran NII yang menyebar ke Aceh berasal dari luar daerah, khususnya Bandung dan Jakarta, dan lebih banyak membahas persoalan spiritual akhirat.
“Mereka lebih banyak membicarakan bagaimana agar selamat di akhir zaman. Topiknya teologis, bukan revolusioner,” jelas Al Chaidar.
Namun ia mengingatkan bahwa beberapa kelompok perpecahan dari faksi NII pernah berkembang menjadi kelompok ekstrem, bahkan terlibat dalam peristiwa besar seperti bom Candi Borobudur.
Ia menyatakan jika nantinya ditemukan bukti fisik berupa senjata atau rencana kekerasan, maka proses hukum terhadap mereka bisa berlanjut.
“Tapi jika ada barang bukti pendukung seperti senjata atau dokumen rencana aksi, tentu bisa dipidana,” tutupnya.