MASAKINI.CO – Namanya siapa? gadis cilik itu diam. Ia hanya senyum. Tersipu malu. Sejurus kemudian, “Fitri,” jawabnya. Lalu kembali membisu.
Senyumnya mulai mekar, saat diajak foto bersama. Bocah berusia tujuh tahun itu, bagian dari keluarga besar panti Seujahtra Aneuk Nanggroe milik pemerintah Aceh.
Panti asuhan di bawah pengelolaan Dinas Sosial Aceh itu menampung 44 anak pra sejahtera; yatim dan piatu, fakir miskin hingga mereka yang ditinggal pergi keluarga.
Di panti Desa Gue Gajah itulah Fitri tinggal selama sebulan ini. Sebelumnya, ia ditinggal keluarganya di bantaran Krueng Lamnyong hingga kemudian petugas Dinas Sosial menjemput dan mengantarnya ke panti.
Milawani, Kepala Seksi Penerimaan dan Pelayanan UPTD Rumoh Seujahtra Aneuk Nanggroe, mengatakan Fitri bakal dipindahkan ke Darus Sa’adah, panti asuhan milik Kementerian Sosial di kawasan Lampeunerut.
“Ia belum sekolah. Makanya kita rujuk ke sana,” katanya.
Anak-anak Rumoh Seujahtra disekolahkan Dinas Sosial. Diberikan fasilitas asrama hingga berbagai layanan lain. Kata Milawani, para pelajar setiap harinya diantar-jemput oleh petugas ke sekolah.
“Yang di sini itu anak terlantar, anak jalanan, yatim piatu, mereka yang bermasalah hukum dan broken home,” ujarnya.

Di panti Rumoh Seujahtra Aneuk Nanggroe, mereka dilayani layaknya tinggal bersama keluarga: bersama ayah-ibunya. Pada pagi hari mereka disajikan makanan bergizi. Usai itu diantarkan ke sekolah serta diberikan jajan Rp10 ribu perhari setiap anak.
“Alhamdulillah mereka masih bisa menyisihkan jajan mereka. Ada kotak amal yang kita sediakan, jajan yang mereka sisihkan itu setiap hari Jumat akan disumbangkan ke yang membutuhkan,” kata Alhudri, Kepala Dinas Sosial Aceh.
Di Rumoh Seujahtra, pemerintah juga menyediakan sarana pustaka, mushala, klinik kesehatan, laboratorium komputer hingga laboratorium musik. Para pelajar juga diberikan kesempatan mengikuti les bahasa.
Di Gampong Lamglumpang Ulee Kareng, Dinas Sosial juga punya UPTD khusus lansia yang dinamai Rumoh Seujahtra Geunaseh Sayang. Di sana, sekitar 54 lansia tinggal. Seluruh biaya hidup mereka ditanggung negara.
Elsa, salah seorang pengasuh para lansia itu, mengatakan mereka yang tinggal di panti jompo itu berasal berasal dari keluarga ekonomi lemah.
“Mereka tidak punya keluarga, dan kalaupun ada lansia yang di sini memang bisa kita bilang tidak lagi dipedulikan keluarganya,” kata Elsa.
Nek Salamah salah satunya. Lansia berumur 68 tahun ini sudah tujuh bulan tinggal di Panti Jompo Geunaseh Sayang.
Perempuan berusia senjata itu, mulai pikun dan dibiarkan mengemis oleh anaknya di Langsa. Sementara itu dikabarkan jika ia tak tinggal di rumah, melainkan di teras rumah milik anak perempuannya.
“Hana dipeuduli (tidak dipedulikan). Kalau nggak mana mau saya kemari. Na aneuk agam (ada anak laki) di Lhokseumawe hana meupat jih (tidak tahu dimana dia), ” kata Nek Salamah.
Anaknya yang bernama Ainul Mardiah, kata Nek Salamah, mengabaikan dirinya. Sementara anak laki-lakinya menikah dan tinggal di Lhokseumawe. Ia tak tahu di mana anaknya itu kini tinggal. Anak perempuannya bahkan sampai kini tak sekali pun menjenguk dirinya.
“Leh diteken surat puduk ino, kaleh (setelah diteken surat ditempat di sini, sudah),” sebutnya lagi.
Selain ditelantarkan keluarga, syarat lain penghuni panti tidak punya riwayat penyakit menular. Elsa mengatakan syarat itu mutlak harus dipenuhi penghuni. Dikarenakan rata-rata penghuni tinggal bertahun-tahun bahkan belasan tahun di panti.
Sebagian bahkan meninggal dan dikuburkan di pekuburan umum yang letaknya di depan panti. Elsa berkisah, banyak keluarga yang tingkat kepedulian pada orang tua sangat kurang.
Mereka tak jarang menemui adanya anak yang mengantarkan orang tuanya untuk dititipkan di panti. Karena alasan kemanusiaan, pihak panti menerima mereka.
“Kita tampung, setelah tiga bulan kita panggil lagi keluarganya kita kasih pengertian. Tapi memang sebagian besar tidak mau dan tetap keluarga di sini,” kata Elsa.
Bukan sebatas itu. “Kadang bahkan ada yang meninggal dan jenazahnya pun tidak mau diambil. Akhirnya kita kubur di sini,” ujar Elsa.
Bagi para lansia, tinggal di panti jompo memang menjadi pilihan akhir. Selain diurus negara, dalam hal kebutuhan batin, negara juga mencukupinya.
Di Rumoh Seujahtra Geunaseh Sayang, selain diberikan fasilitas tempat tinggal dan konsumsi harian, pemerintah juga memberikan akses ibadah seperti zikir dan ceramah rutin.
Mereka juga diberikan keterampilan lain serta aktivitas senam di akhir pekan. Setiap bulannya para lansia itu juga diberikan uang saku senilai Rp210 ribu per orang.
Simaklah penuturan Zubaidah, Warga Meulaboh yang sudah 15 tahun tinggal di panti, dan Nurjanah, lansia asal Lamlo Sigli yang sudah 10 tahun menetap di panti.
“Kalau di rumah sendiri. Kalau meninggal tidak ada yang lihat. Kita kan berdoa tidak (meninggal) seperti itu,” kata Nurjanah.
Sementara di panti mereka bisa menghabiskan masa tua dengan mengaji dan berzikir.
“(Sampai) Mate jeut chit di sino (sampai mati juga boleh di sini), ” kata Zubaidah.
Mereka bebas tinggal di sana, bahkan sampai meninggal. Melihat Nurjanah, Zubaidah tersenyum. Tinggal di asrama yang sama mereka bagai sebuah keluarga. Pemerintah telah menyatukan mereka di panti. [Hamzah Hasballah]