Pulo Aceh menyimpan banyak cerita. Selain kisah gembira usai menyentuh riak di pantai berpasir putih sembari berfoto, Pulo Aceh tentunya juga menyimpan cerita duka. Sampah plastik berserak di berbagai sudut di pantai yang sepi. Bikin pemandangan alam yang indah menjadi tak enak dipandang mata.
Dugaannya memang bukan sampah hasil pemakaian warga. Arus kuat yang ketika angin bertiup dari timur membawa sampah-sampah dari daratan di Kota Banda Aceh menumpuk ke beberapa sudut pantai di Pulo Aceh. Sementara ketika angin dari arah barat, sampah dari lautan di Samudera Hindia juga hanyut ke Pulo.
“Ini bukan dari sini, tapi dibawa dari tempat lain. Dari Banda Aceh…,” ujar Dyah Erti Idawati, istri Gubernur Aceh yang berkunjung ke Pulo Aceh pada Senin awal Maret 2021.
Memang tumpukan sampah plastik menjadi dilema bagi pengembangan pariwisata. Banyaknya sampah membuat berbagai lokasi yang indah menjadi kotor.
Data dari National Plastic Action Partnership yang dirilis bulan April 2020, menyebutkan bahwa volume sampah plastik tumbuh sebesar 5% setiap tahunnya. Sementara itu Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, menyebutkan bahwa jumlah timbunan sampah nasional pada 2020 mencapai 67,8 juta ton.
Itu baru total sampah timbunan, bukan sampah yang berserak di berbagai sudut, baik di sungai, di pantai bahkan di bawah laut.
Ada yang menarik yang saya jumpai dalam kunjungan saya ke Pulo Aceh: sampah berusia belasan hingga puluhan tahun. Sebuah kaleng cat semprot yang warna kalengnya masih sangat bersih tergeletak di antara pasir dan sampah lain. Tertulis angka 181112. Artinya cat itu kadaluarsa per tanggal 18 November tahun 2012 silam, atau 9 tahun lalu.
Di sudut lain saya mendapati sebuah bungkusan kacang yang kadaluarsa di awal tahun 2007 lalu. Jika kacang itu diproduksi pada tahun 2006, maka usia sampah plastik itu sudah mencapai 15 tahun.
Satu plastik di antara sampah lain menjadi yang paling mengejutkan. Sampah bekas bungkusan es krim itu kadaluarsa pada akhir 1999. Artinya sampah tersebut sudah ada 22 tahun lamanya. Entah kapan sampah itu dibawa hingga ke pantai di Pulo Aceh.
Selain itu, masih banyak lagi sepatu-sepatu bekas, pempers, hingga kaleng bekas yang telah dipenuhi karang.
Mengutip situs berita tirto.id, disebutkan bahwa sampah plastik baru dapat terurai di tanah 1.000 tahun lamanya.
Rinciannya adalah sebagai berikut. Kantong plastik baru terurai antara 10 hingga 1.000 tahun. Untuk botol plastik dapat terurai di alam sekitar 450 tahun. Sementara itu popok bayi sekali pakai diperkirakan akan terurai di pembuangan sampah dalam waktu 250-500 tahun. Kaleng aluminiun butuh waktu sekitar 80 hingga 200 tahun untuk terurai sepenuhnya di alam.
Selanjutnya adalah sepatu bekas yang baru akan hancur sekitar 50 hingga 80 tahun, terutama pada bagian sol karet. Sementara sterofoam terbuat dari polystyrene, jenis plastik yang berasal dari petroleum. Sterofoam tidak dapat terurai di alam. Sehingga, secara teknis hanya memenuhi tempat pembuangan sampah.
Tanggal 21 Februari adalah Hari Sampah Nasional. Di Aceh peringatan hari tersebut dilakukan di Aceh Tengah pada 1 Maret kemarin. Gubernur Aceh mengingatkan bahwa sampah merupakan persoalan serius dan multidimensi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis.
Sebagai tindaklanjut perpres itu, Pemerintah Aceh juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 138 Tahun 2018 tentang Jakstrada Provinsi Aceh.
Perpres dan Pergub tersebut menegaskan perlunya menjalankan sistem pengelolaan sampah secara terintegrasi dari hulu ke hilir dan menetapkan target pengurangan sampah sebesar 30 persen dan penanganan sampah 70 persen di tahun 2025, dengan harapan ditahun 2025 seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh akan bebas dari sampah yang tidak terkelola. []
Discussion about this post