MASAKINI.CO – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Ihsanurijal, mengatakan dari hasil survei pihaknya, sekitar 10 persen masyarakat Aceh kategori usia kerja, terdampak langsung pandemi covid-19. Dampak yang paling dirasa adalah pemutusan hubungan kerja hingga pemangkasan jam bekerja.
“Pengangguran karena covid-19 adalah penduduk usia kerja yang termasuk pengangguran dan mereka yang berhenti bekerja totalnya sekitar 388,4 ribu orang dari total 3,9 orang,” kata Ihsanurijal, saat mengisi materi tentang arah pembangunan Aceh dalam dialog membahas isu-isu aktual di Aceh, di Aula Badan Kesbangpol Aceh, Selasa 30/03/2021.
Data yang disampaikan Ihsanurijal adalah data per Februari-Agustus 2020. Ia merinci, 18 ribu masyarakat menjadi pengangguran langsung. Sementara 5,2 ribu orang adalah penduduk usia kerja yang termasuk bukan angkatan kerja dan punya pengalaman berhenti bekerja karena covid.
Kepala BPS melanjutkan, 21 ribu orang adalah yang diberhentikan sementara karena covid, dan yang terbanyak adalah mereka yang bekerja namun mendapat pengurangan jam kerja yaitu mencapai 344,2 ribu orang.
“Covid membuat situasi lingkungan kerja menjadi tidak kondusif,” kata Ihsanurijal.
Sementara itu Kepala Bappeda Aceh, T. Ahmad Dadek, mengatakan pemerintah Aceh menerapkan enam strategi utama untuk percepatan penurunan kemiskinan di Aceh. Pertama adalah mengurangi beban penduduk miskin dan meningkatkan pendapatan penduduk miskin.
“Kita juga terus menguatkan kapasitas penduduk miskin,” kata Dadek. Dengan demikian lanjut Dadek, masyarakat bisa secara perlahan keluar dari kategori masyarakat miskin.
Dadek melanjutkan, strategi pemerintah ke empat adalah menekan biaya transaksi ekonomi, menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok dan menanggulangi bencana.
Kepala Bappeda menyebutkan angka kemiskinan Aceh yang tinggi disebabkan tiga hal. Pertama adalah historis, di mana selama belasan tahun Aceh dilanda konflik. “Konflik menyumbang angka kemiskinan yang sangat tinggi, mencapai 28 persen.”
Sebab ke dua adalah Tsunami, di mana musibah besar ini membuat perekonomian Aceh harus bergerak kembali dari dasar.
Sementara alasan ketiga adalah anggaran di Aceh yang masih terfokus pada anggaran pemerintah, baik dari APBN yang dikelola instansi vertikal sampai ke dana desa yang dikelola gampong, maupun dana dari APBA dan APBN.
Sementara itu, sektor pertanian yang menjadi unggulan di Aceh masih belum digarap dengan baik. “Selama ini masalahnya adalah pertanian kita masih petik dan jual, tangkap dan jual sementara sektor pengolahan yang tidak ada,” kata Dadek. []