MASAKINI.CO – Pujian datang dari sejumlah negara Asia, bahkan Eropa. Selain pria, wanita juga mengaku terkesan. Umumnya mereka menyatakan kagum harga, layanan dan keramahan.
Elisa misalnya, ia menilai Lala Hostel, “itu sangat bagus! Tempat tidur sangat nyaman, asrama dan kamar mandi sangat bersih. Ada air panas di kamar mandi,” kata solo traveler asal Prancis itu melalui boking.com.
Soal keramahan, Julia punya cerita. Warga Jerman itu bahkan mengaku telah singgah dua kali. “Sebelum dan sesudah perjalanan selanjutnya ke Pulau Weh.”
Julia menilai staf Lala Hostel sangat perhatian dan membantu memberikan informasi yang dibutuhkan. “Kami bahkan sarapan bersama. Karena kami sangat menyukainya.”
Pengakuan Julia tak berlebihan. Kamis pagi, pekan terakhir Februari lalu, Teuku Ilham pengelola Lala Hostel terlihat akrab bersama seorang wisatawan asing. Ia dan temannya itu sarapan sambil ngopi di warung persis depan Makam Pahlawan Banda Aceh.
“Dia dari Medan sendirian, kendarai sepeda motor ke Ketambe, Aceh Tenggara dari wilayah tengah, dia masuk Banda Aceh,” Ilham memperkenalkan wisatawan asing, teman barunya itu.
Backpacker yang diperkenalkan Ilham berasal dari Prancis. Namanya Germain Jean Raphael. Salah seorang tamu di Lala Hostel, penginapan yang berdiri di Jalan Teuku Muhammad Daud Beureueh Simpang Jambo Tape, Banda Aceh.

“Dia baru check in semalam, rencana menginap dua malam,” kata Ilham, sebelum ditinggalkan Raphael yang ingin bersantai bersama Siamang di Gunung Geurutee.
Lala Hostel mulai dirintis sejak 2019. Toko seluas 4×16 meter disulap mentereng berkapasitas tujuh kamar dengan 28 bed. Lantai bawah untuk pria, sementara wanita di lantai dua. Setiap kamar diisi empat bed.
Menurut Ilham penginapan yang dikelolanya mengusung konsep hostel murni dengan mengincar backpacker sebagai target pasarnya. Sebagai daya pikat, ia dan temannya berselancar di platform pinterest untuk menemukan desain interior dan eksterior.
“Model ranjang adopsi dari hostel yang ada di Kuala Lumpur. Konsep utama kamar simpel, ranjang tingkat atau bunk bed, pantry gratis, kopi gratis. Self service, termasuk sampah dalam kamarpun dibersihkan sendiri.”
Ide kelola hostel sendiri ini datang dari hobinya berwisata. Sebelum mimpinya terwujud satu persatu, Ilham bergabung dengan coach surfing komunitas backpacker dunia. Dari komunitas itu, ia dapati strategi hemat di luar negeri.
Para traveler yang bergabung di coach surfing, menurut Ilham ingin merasakan kebersamaan dengan orang lokal saat di destinasi, menginap gratis di rumah warga setempat. Di Banda Aceh sendiri komunitas itu diikuti 30 lebih anggota aktif.
“Kalau ada bule yang mau datang ke Aceh ngabarinya di komunitas itu, nanti tidurnya di rumah warga,” sebutnya.
Sebagai backpacker asal Aceh, jelajahan Ilham terbilang lumayan. Ia telah bertandang ke Malaysia, Vietnam dan Thailand. Saat menginap di hostel, ia dan backpacker lainnya saling bertukar informasi destinasi yang telah dikunjungi.
“Di situlah muncul ide kelola hostel, apalagi di Aceh belum ada,” jelasnya.
Sepulang dari bertualang di negeri jiran, ia bertemu teman seide. Lantas membangun Lala Hostel.
Renovasi toko makan waktu setahun, lengkap dengan konsep pemasaran dan manajemen yang matang. “Setiap bed kami sewakan Rp100 ribu atau tujuh dolar,” sebut pria baru berusia 32 tahun itu.
Namun malang tak dapat ditolak, saat operasional hendak berjalan, pandemi Covid-19 datang menghadang. Bisnis penginapan ini mati suri, “dua bulan kerja sudah Corona,” kata pria asal Aceh Utara ini.
Setelah setahun lebih Lala Hostel tak datangkan cuan. Sebelum gerbang internasional Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar kembali dibuka September lalu. Lala Hostel telah melayani tamu perdananya, Maret 2022.
“Tamu pertama kami wisatawan asal Amerika, namanya Sean Philips,” sebut Ilham sambil melihat buku tamu penginapannya.

Perlahan, kamar-kamar Lala Hostel mulai terisi saat musim panas datang di luar negeri. Dalam sebulan, usai pandemi Covid-19 mulai meredup, delapan wisatawan datang menginap.
“Kalau sekarang wisatawan mancanegara yang datang lebih seratusan,” ujarnya.
Jumlah wisatawan mancanegara negara terus meningkat. Lala Hostel terpaksa menambah jumlah pekerjanya. Kini Ilham bekerja dibantu seorang pria dan wanita. Keduanya mahir berbahasa Inggris. Mereka menjaga hostel bergantian per delapan jam.
“Bulan ini saja yang booking sudah 14 orang, kemungkinan ini akan bertambah lagi. Hari ini ada yang booking dua orang dari Belanda, sore nanti check in,” sebut Ilham.
Mayoritas backpacker yang menginap di Lala Hostel berkunjung ke Aceh sendirian. Datang secara berkelompok biasanya perempuan, itu pun berdua. Kelompok terbesar pernah datang dari Selandia Baru, mereka berlima.
Dalam buku tamu Lala Hostel, wisatawan yang paling ramai berasal dari Jerman, Belanda dan Amerika, Inggris, dan sejumlah negara eropa lainnya. Sementara di Asia, wisatawan Korea Selatan juga sering datang.
Nyaris setiap wisatawan asal Belanda, mereka menjadwalkan bakal kunjungi Kherkoff Peutjut di pusat Kota Banda Aceh, persis di Jalan Iskandar Muda, Kelurahan Suka Ramai, Kecamatan Baiturrahman. Kuburan militer Belanda ini termasuk terluas di dunia, setidaknya 2.200 tentara termasuk empat jenderal dimakamkan dalam kompleks tersebut.
Selain destinasi sejarah, lokasi-lokasi amuk tsunami 2004 lalu juga ramai dikunjungi wisatawan mancanegara. Termasuk keindahan pantai dan keindahan alam Aceh lainnya. Biasanya perjalanan panjang berakhir di Pulau Weh, Sabang.
“Para backpacker yang datang ke Banda Aceh umumnya melintasi jalur darat sendirian ke Ketambe, traking di Gunung Lauser, melihat Orangutan sambil menikmati hutan Aceh yang masih asri,” kata Ilham.
“Mereka saling bertukar informasi saat rehat di hostel, hingga sering memperpanjang jadwal kunjungan. Kami melayani mereka seperti keluarga.”