Menyelami Budaya di Warung Kopi Kubra

Suasana pengunjung warung kopi Kubra di Beurawe, Banda Aceh. (foto: dok masakini.co)

Bagikan

Menyelami Budaya di Warung Kopi Kubra

Suasana pengunjung warung kopi Kubra di Beurawe, Banda Aceh. (foto: dok masakini.co)

MASAKINI.CO – Warung kopi empat pintu itu tampak ramai. Pelanggannya kebanyakan anak muda. Siang itu matahari cukup terik ketika saya tiba di warung kopi Kubra. Saya memilih duduk di sudut dekat kipas angin.

Seorang pramusaji menghampiri. Dia bertanya saya ingin memesan apa. Saya langsung menimpali “kopi coklat.” Tak lama berselang, pesanan kopi saya tiba. aromanya menggoda.

Warung kopi yang terletak di Jalan Teuku Iskandar, Beurawe, Kuta Alam, Banda Aceh, ini nyaris tak pernah sepi sedari subuh. Pelanggannya tua dan muda.

Kopi hitam yang cara penyajiannya disaring jadi primadona di warung ini. Belakangan, kopi saring dicampur bubuk coklat juga punya penikmat yang tak kalah banyak.

Warung kopi ini pantas disemat sebagai salah satu legenda dari ribuan warung kopi yang ada di Banda Aceh. Betapa tidak, lahirnya konon berbarengan dengan negara Indonesia merdeka, 1945.

Meski warkop di Banda Aceh dengan ragam dekor futuristik dan menu ciamik berkembang pesat pasca bencana tsunami, warkop Kubra tetap punya tempat di hati para penikmatnya. Eksis hingga sekarang.

Sajian kopi coklat di warung kopi Kubra. (foto: dok masakini.co)

Melambung tersohor nama warkop Kubra ternyata ikut berdampak pada dunia pariwisata di Aceh. Slogan Banda Aceh sebagai daerah ‘seribu satu warung kopi’ yang kerap didengungkan pemerintah, bikin wisatawan penasaran dengan suasana warkop yang autentik dan punya nilai histori.

Warkop Kubra pun jadi pilihan. Selain faktor usia yang melegenda, warung ini jadi pilihan dikunjungi wisatawan lantaran setia menyajikan secangkir kopi yang tak lari dari resep awal.

Mulanya sejak berdiri warung ini dikenal dengan nama Kedai Kopi Cut Zain. Cut Zain sendiri merujuk kepada nama sang pemilik. Belakangan, para penikmat kopi Cut Zain membentuk wadah perkumpulan. Tujuannya untuk merawat silaturahmi sambil ngopi. Wadah itu diberi nama Forum Silaturahmi Penikmat Kopi Beurawe (Forsilakubra).

Forum terbentuk sejak 2011. Selain wadah kumpul-kumpul, forum itu juga sering bikin aksi sosial. Usai lahirnya Forsilakubra itulah, banyak kalangan di Banda Aceh mulai menyebut kedai kopi Cut Zain dengan sebutan Kubra saja, yang punya kepanjangan Kopi Beurawe.

Kedai kopi yang dirintis oleh Muhammad Zain Sulaiman atau akrab dipanggil Cut Zain, ini terus berkembang dan mendapat tempat di hati para pecinta kopi di Aceh dan merambah hingga keluar. Kini nahkoda bisnisnya berada di bawah kendali anak beliau.

Bubuk kopi yang disajikan Kubra berjenis Robusta. Kopi jenis ini lazimnya tumbuh di kawasan Takengon, Bener Meriah, Tangse, dan Lamno. Untuk segelas kopi yang sampai ke meja pelanggan cara penyajian cukup sederhana.

Lazimnya di Aceh, bubuk kopi diseduh dengan cara tradisional. Salah satu senjata andalan bikin kopi jadi nikmat itu ada dua. Pertama saringan bentuk memanjang mirip kaus kaki, dan gayung bulat berbahan aluminium.

Barista mengangkat saringan itu tinggi-tinggi lalu kemudian membiarkan kopi mengucur jatuh ke dalam gayung. Dari dalam gayung kopi tak langsung disajikan ke gelas, melainkan dituang kembali ke dalam saring. Proses yang berulang-ulang ini manfaatnya bikin kadar keasaman kopi berkurang.

Butuh sekitar satu hingga dua menit proses penyaringan berlangsung. Baru kemudian kopi diguyur dalam gelas telah dibubuhi sedikit gula, dan lalu diantar ke meja pemesan. Aroma kopi seketika menyambar indra penciuman yang mendorong mulut segera ingin menyesapnya.

Kopi hitam menjadi primadona di warung kopi Kubra. (foto: dok masakini.co)

Bagian dari proses penyaringan kopi kerap menjadi daya tarik wisatawan penasaran dengan kopi Aceh. Semakin tua usia warung kopi itu semakin ia diburu untuk didatangi. Kopi Kubra menjadi sentra yang tak luput disambangi kala wisatawan piknik ke Tanah Rencong.

Warung sederhana tapi punya citarasa kopi terbaik ini hanya punya meja berbentuk bundar dan kursi plastik. Juga ada kursi memanjang di dekat dapur barista meracik kopi. Biasanya yang duduk di kursi panjang itu mulanya mereka saling tak kenal lalu kemudian jadi akrab, lantas bersahabat. Itu karena hampir setiap hari mereka ngopi di Kubra.

Di beranda depan warkop, digelar meja empat kaki untuk menampung pengunjung yang tidak kebagian duduk di dalam. Jangan berharap ada wifi ataupun sentuhan lembut AC di sini. Hanya ada kipas angin tua menggantung di langit-langit dan sudut warung. Kemudian cermin-cermin besar yang menempel di bagian depan serta kiri warung.

Tak banyak pernak-pernik ornamen di dalam warung. Cuma ada sebuah foto klasik zaman kolonialisme Belanda menggambarkan kapal tengah bersandar di Sabang. Lalu menempel satu peta persebaran kopi di dunia. Di bagian dinding lain, terpacak dalam bingkai puisi karangan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang berjudul “Indonesia Berterimakasih Kepadamu Aceh”.

Meski tampak sederhana, di warung kopi Kubra biasanya hanya beberapa menit saja meja terlihat kosong, sebelum kemudian terisi kembali oleh mereka yang ingin menyesap segelas kahwa.

Waktu terbaik menikmati kopi Kubra saran saya datanglah pada pagi hari. Selepas jamaah subuh turun dari masjid warkop ini sudah buka. Ditemani ragam jenis kudapan, bikin segelas kopi Kubra makin pas terasa.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist