MASAKINI.CO – Wacana DPR Aceh untuk melakukan revisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), memiliki tujuan menyempurnakan produk hukum milik Pemerintah Aceh dan DPRA.
Ketua DPR Aceh, Saiful Bahri atau akrab disapa Pon Yahya, mengatakan ide melakukan perubahan tersebut mesti disikapi secara bijak, lantaran yang hendak diubah merupakan produk buatan manusia.
“Qanun LKS merupakan produk Pemerintah Aceh dan DPRA yang telah melalui berbagai proses hingga disahkan dan diberlakukan di Aceh. Tetapi di perjalanan waktu, terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi dan kebijakan dari produk hukum tersebut sehingga tidak salah juga apabila DPRA dan Pemerintah Aceh kemudian berinisiatif melakukan beberapa perubahan demi kesempurnaan dan kemaslahatan ummat,” katanya kepada wartawan, Sabtu (13/5/2023).
Wacana perubahan Qanun LKS belakangan justru disikapi negatif oleh beberapa pihak di Aceh, dan bahkan ada yang menggiringnya ke arah yang lain.
Padahal, menurut Pon Yaya, wacana mengubah Qanun LKS bukan untuk menghapus atau bahkan berniat menghilangkan sistem syariat Islam dalam sistem keuangan di Aceh, seperti yang ada di dalam beberapa pasal dalam produk hukum tersebut.
“Jadi tidak ada keinginan mengubah syariat Islam, melainkan untuk memberikan pilihan bagi warga Aceh dalam menggunakan jasa lembaga keuangan,” tegasnya.
Selama ini, banyak warga Aceh yang menggunakan Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai tempat untuk menyimpan uang mereka, setelah hengkangnya beberapa bank konvensional dari Bumi Serambi Mekkah.
Masyarakat di Aceh pun seakan-akan beranggapan, setelah tidak ada lagi bank konvensional, maka hanya BSI dan Bank Aceh Syariah (BAS) yang dapat digunakan jasanya dalam menyimpan uang.
Padahal, tutur Pon Yaya, di Aceh masih memiliki sejumlah bank lain yang menerapkan sistem syariat dan tetap beroperasi setelah berlakunya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang LKS.
Dia menyebut beberapa bank seperti; BCA Syariah, Bank Muamalat, Bank Maybank Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank BTN Syariah, Bank CIMB Niaga Syariah, Bank BTPN Syariah, dan Bank Mega Syariah.
Akan tetapi, dalam perjalanan kebijakan dan pelaksanaan di lapangan, beberapa bank yang menabalkan kata “syariah” tersebut belum mampu memenuhi keinginan dan memberikan pelayanan optimal kepada nasabah di Aceh.
“Pelayanan yang dimaksud seperti terdapat beberapa bank tersebut yang hanya membuka kantor cabang di kota-kota tertentu saja,” jelasnya.
Selain itu, mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) milik bank-bank tersebut yang seharusnya menjadi media untuk memberikan pelayanan maksimal bagi nasabah, juga belum terlihat di setiap sudut kota, seperti yang dilakukan oleh BAS dan BSI.
Pon Yahya mengatakan ketidaksiapan bank konvensional dalam mengimplementasikan Qanun LKS juga berbuntut panjang dengan mengalihkan nasabah-nasabah mereka ke BSI.
Pengalihan nasabah secara besar-besaran yang terjadi, belakangan lebih terkesan seperti monopoli terhadap jasa perbankan di Aceh.
Akibatnya, ketika BSI mengalami masalah seperti dalam beberapa hari terakhir, warga Aceh pun menjadi korban karena tidak adanya alternatif dalam menggunakan jasa lembaga keuangan seperti di daerah lain.
Pon Yaya mengakui bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh merupakan buah panjang perjuangan yang sempat digelorakan oleh orang-orang Aceh, sejak Indonesia merdeka.
Qanun LKS pun lahir dari proses perjuangan tersebut yang merupakan buah dari keinginan warga Aceh untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. kendati demikian, Pon Yaya berharap, para pihak tak boleh menafikan bahwa kelahiran Qanun LKS tidak untuk menjadikan bank tertentu memonopoli jasa lembaga keuangan di Aceh.
Sebagai daerah yang berkeinginan maju dan berkembang, serta tidak selalu dijadikan jargon daerah tertinggal, Pon Yaya mengatakan Aceh perlu mempertimbangkan berbagai peluang masuknya investor, termasuk dalam hal aturan daerah terkait jasa keuangan.
Selama ini, terdapat keluhan dari beberapa calon investor yang terkendala untuk berinvestasi di Aceh karena tidak beroperasinya bank konvensional, sehingga menyulitkan mereka dalam hal melakukan transaksi.
“Kita buat program untuk investor masuk ke Aceh. Jangankan masuk, pengusaha lokal pun terpaksa keluar hanya karena sulit bertransaksi di Aceh,” ungkapnya.
Kondisi inilah yang menurut Pon Yaya perlu disikapi bersama agar pelaksanaan Qanun LKS tidak terlalu dipaksakan bagi semua pihak. Dia mencontohkan seperti halnya pemberlakuan hukum cambuk di Aceh, yang hukum tersebut tidak berlaku bagi warga non-Muslim.
“Lantas prihal yang sama mengapa tidak boleh berlaku dalam konteks lembaga keuangan?” ujarnya.
“Pada prinsipnya saya setuju agar bank yang menganut sistem syariah tetap kita pertahankan di Aceh, tetapi juga turut memberikan peluang bagi bank konvensional untuk beroperasi,” tambahnya.
Menurut Pon Yahya, dengan beragam, masyarakat akan diberikan pilihan dalam menggunakan sistem bank seperti apa untuk melakukan transaksi ekonomi di Aceh.
“Tidak ada yang salah dengan adanya keinginan untuk mengubah produk hukum buatan manusia, selama itu bertujuan untuk mendapatkan hal yang lebih baik. Perubahan Qanun LKS bukan untuk menghapus substansi syariat Islam yang terkandung di dalamnya. Saya secara pribadi mendukung Bank Syariat Islam yang rahmatan lil’alamin, bukan Bank Syariah Indonesia,” tegasnya.
“Kalau LKS mau diubah oleh dewan, tidak ada urusan dengan menjilat ludah sendiri. Setiap keputusan yang salah memang harus dikoreksi lagi. Karena kita masih manusia, sangat wajar jika membuat kesalahan. Yang tidak wajar, kalau kita tahu salah, tapi tidak mau mengoreksi,” pungkasnya.