MASAKINI.CO – Politisasi agama yang disinyalir ingin menghadang perempuan berpartisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tengah merebak kencang di Aceh. Narasi-narasi itu muncul di media sosial.
Puluhan lembaga yang mayoritas perkumpulan perempuan di Aceh akhirnya angkat bicara.
βMemilih dan dipilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk perempuan Aceh,β kata Khairani Arifin, Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, dalam keterangan persnya diterima masakini.co, Selasa (23/7/2024).
Menurut elemen gerakan perempuan Aceh, tutur Khairani, sejarah Islam telah mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Khadijah, Aisyah, dan Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam, tanpa melarang mereka berpartisipasi dalam kepemimpinan politik.
Aceh sendiri di masa silam, memiliki warisan kepemimpinan perempuan yang kuat, dengan empat ratu yang memimpin selama 59 tahun.
Ihwal narasi yang tengah marak berkembang untuk menolak partisipasi perempuan dalam Pilkada itu, gerakan perempuan Aceh mendesak Pemerintah Aceh dan daerah dapat memastikan perempuan terlindungi dan terpenuhi hak konstitusionalnya.
Pemerintah juga diminta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam politik, serta menghapus stereotip dan prasangka gender yang dapat menghalangi partisipasi perempuan.
βPemerintah harus dapat memastikan setiap perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada atau terlibat dalam politik, tidak menghadapi diskriminasi atau hambatan karena keberadaannya sebagai perempuan,β ujar Khairani Arifin.
Selain itu, Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan jajarannya di kabupaten/kota didesak meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan konten atau materi kampanye yang mengarah kepada hoaks dan politisasi SARA dalam Pilkada sejak dari tahap persiapan, dan melakukan langkah-langkah konkrit untuk pencegahan.
Gerakan perempuan Aceh itu juga menyerukan kepada seluruh bakal calon kepala daerah di Aceh dan tim suksesnya agar berkompetisi secara fair dalam Pilkada, tanpa harus melakukan politisasi Syariat Islam untuk menjegal perempuan menggunakan hak politiknya.
βSebagai bagian dari masyarakat yang majemuk, kami percaya partisipasi perempuan dalam kepemimpinan politik adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berdaya,β ungkap Khairani Arifin.