20 Tahun Tsunami Aceh, Doa Untuk Korban Tetap Mengalir

Ribuan penziarah berdoa di kuburan massal Siron, Aceh Besar | Riska Zulfira/masakini.co

Bagikan

20 Tahun Tsunami Aceh, Doa Untuk Korban Tetap Mengalir

Ribuan penziarah berdoa di kuburan massal Siron, Aceh Besar | Riska Zulfira/masakini.co

MASAKINI.CO – Pagi yang tenang di Desa Siron, Kabupaten Aceh Besar, berubah menjadi penuh haru ketika ribuan peziarah berdatangan ke kuburan massal korban tsunami Aceh, Kamis (26/12/2024).

Tempat peristirahatan terakhir lebih dari 46.000 jiwa korban gelombang dahsyat itu kembali menjadi saksi bisu memori kelam yang masih membekas di sanubari rakyat Aceh, walau telah 20 tahun berlalu.

Sejak fajar menyingsing, pelataran kuburan massal mulai dipenuhi peziarah. Mereka datang berkelompok, membawa keluarga besar, anak-anak, hingga cucu.

Dengan langkah pelan dan wajah yang sarat emosi, duduk di atas rumput yang menghampar, melantunkan doa, membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, dan menaburkan bunga di atas batu-batu makam.

Suara doa berbaur dengan isak tangis para peziarah. Beberapa di antaranya tampak menyeka air mata sambil memandangi hamparan makam yang menyimpan kenangan akan keluarga yang tak lagi kembali.

Bagi sebagian besar, tempat ini adalah satu-satunya penghubung dengan orang-orang tercinta yang jasadnya tak pernah ditemukan.

Tak hanya umat Muslim, warga non-Muslim juga terlihat hadir, berbaur dalam ritual yang penuh keheningan. Mereka menghormati tempat ini dengan cara masing-masing, mengirim doa kepada keluarga yang telah tiada.

Yurifat, warga Banda Aceh, tak pernah absen berziarah ke kuburan massal Siron setiap tahunnya. Ia kehilangan ibu dan adik kandungnya dalam tragedi itu.

Warga membacakan Yasin di kuburan massal korban tsunami Aceh, Siron, Aceh Besar, Kamis (26/12/2024). I Riska Zulfira/masakini.co

Meski tak mengetahui pasti di mana jasad mereka dimakamkan, Siron selalu menjadi tujuan utamanya untuk mengenang kehadiran mereka.

“Setiap tahun saya datang ke sini. Tempat ini menjadi pengingat akan keluarga saya yang telah tiada,” katanya.

β€œHarapan saya, musibah seperti ini tak lagi terjadi di Aceh,” ungkap Yurifat dengan mata berkaca-kaca.

Hal serupa juga disampaikan Haswani, warga asal Lampaseh, Kota Banda Aceh ini juga ziarah ke kuburan massal Siron adalah cara untuk mengenang suaminya yang hilang dalam tragedi tsunami.

Kala itu, Haswani baru saja melahirkan anak keduanya, hanya sepekan sebelum bencana menerjang.

“Sekarang anak kedua saya sudah 20 tahun, sama dengan usia peristiwa tsunami ini,” kata Haswani, yang akrab disapa Wani.

Ia mengaku tak pernah tahu di mana suaminya dimakamkan. Karena itu, setiap tanggal 26 Desember, Wani rutin mengunjungi dua kuburan massal Siron dan Ulee Lheue di Banda Aceh.

“Ini satu-satunya cara saya merasa dekat dengan dia,” ucapnya penuh haru.

Perjalanan 20 tahun sejak gempa dan tsunami melanda Aceh bukan hanya tentang mengenang kehilangan, tetapi juga tentang belajar dari masa lalu dan menjaga warisan sejarah ini tetap hidup.

Di tengah doa dan duka, Siron mengingatkan bahwa meski bencana besar pernah meluluhlantakkan Aceh, semangat untuk bangkit tak pernah padam.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist