Membesarkan Anak Digital: Dibutuhkan Peran Orang Dewasa

Ilustrasi anak sedang bermain handphone. | Foto : Istockphoto/Orbon Alija

Bagikan

Membesarkan Anak Digital: Dibutuhkan Peran Orang Dewasa

Ilustrasi anak sedang bermain handphone. | Foto : Istockphoto/Orbon Alija

MASAKINI.CO – Di tengah kemajuan teknologi dan meluasnya akses internet, anak-anak Indonesia semakin akrab dengan gawai sejak usia sangat dini. Setiap tawa di depan layar ponsel menyimpan harapan akan kecerdasan digital, namun juga menyimpan potensi risiko serius.

Tanpa pendampingan yang memadai, ruang digital yang tampak menghibur dapat berubah menjadi ruang rentan dari paparan konten tidak ramah anak hingga ancaman kekerasan siber dan predator daring yang tersembunyi di balik algoritma.

Inilah potret senyap yang diangkat dalam webinar “Ruang Digital Anak”, sebuah forum penting yang mempertemukan anggota DPR RI, pakar literasi digital, dan pelaku industri untuk menyuarakan satu hal: anak-anak tidak boleh dibiarkan sendirian di dunia digital, dan dikutip InfoPublik, Rabu (30/7/2025).

Anak Digital, Tapi Siapa yang Menemani?

Anggota Komisi I DPR RI, Syarifah Ainun Jariah, mengibaratkan internet sebagai pisau bermata dua. “Jika diarahkan dengan benar, ia bisa menjadi alat belajar yang luar biasa. Tapi tanpa pengawasan, internet bisa jadi senjata yang melukai anak-anak kita,” tegasnya.

Ia mengingatkan, generasi sekarang adalah digital native sejak lahir. Mereka bisa menggeser layar sebelum bisa membaca. Tapi apakah mereka paham tentang risiko di balik layar? Jawabannya: belum tentu. “Anak-anak belum paham bahaya, tapi sudah sangat mahir menavigasi layar. Di sinilah peran orang dewasa jadi sangat penting,” tegasnya.

Syarifah menekankan bahwa perlindungan anak di ruang digital adalah tanggung jawab kolektif. Ada tiga elemen utama harus bergerak bersama:

  1. Orang Tua: sebagai pelindung pertama. Hadir secara emosional, menerapkan parental control, memberi contoh positif dalam penggunaan gadget.
  2. Sekolah dan Guru: mendidik karakter dan mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum.
  3. Negara: menghadirkan regulasi yang berpihak pada anak, seperti PP Nomor 17 Tahun 2025 yang mewajibkan penyedia platform digital memiliki sistem perlindungan anak.

“Peraturan ini bukan sekadar formalitas, tapi tameng nyata dari serangan konten tidak layak yang hadir dalam satu klik,” ujarnya.

Ia juga mengatakan literasi digital adalah benteng utama anak di era daring. Bukan dengan menjauhkan anak dari teknologi, tapi dengan membekali mereka keterampilan untuk menghadapi dan menyaring dunia digital secara sehat dan bermakna. “Anak bukan sekadar objek perlindungan. Mereka adalah subjek aktif yang harus dibekali nilai, keterampilan hidup, dan akal sehat digital,” pungkas Syarifah.

Sementara itu, Pakar Literasi Digital, Gun Gun Siswadi mengungkap data yang mengejutkan bahwa 4,33 persen anak usia di bawah 1 tahun sudah pernah mengakses internet, 33,80 persen anak usia 1–4 tahun terbiasa menjelajah dunia digital, dan 51,19 persen anak usia 5–6 tahun secara aktif menggunakan internet.

Lebih lanjut, data BPS 2024 mencatat 39,71 persen anak usia dini (0–6 tahun) telah menggunakan ponsel, dan 35,57 persen sudah bisa mengakses internet.

Namun yang lebih mengkhawatirkan, 80 persen orang tua tidak tahu apa yang anaknya akses. “Karena itu, ini bukan soal melarang. Ini soal hadir, membimbing, dan peka terhadap apa yang dikonsumsi anak di dunia maya,” ujar Gun Gun Iswadi.

Terkait itu, ada panduan usia bijak digital yang disarankan:

  1. 0–5 tahun: sebaiknya tanpa gawai, kecuali untuk keperluan darurat.
  2. 6–10 tahun: mulai dikenalkan secara terbatas dengan pendampingan aktif.
  3. 11–18 tahun: diberikan tanggung jawab digital dengan arahan dan evaluasi rutin.

Di Balik Algoritma, Ada yang Mengintai saat Anak Berselancar di Ruang Digital

Hendri Gunawan, CEO Sigmabrand.id, membuka sisi kelam lain dari dunia digital anak. Banyak anak kini memiliki akun rahasia untuk berselancar tanpa pengawasan.

“Waktu layar anak bisa mencapai 6–11 jam per hari. Tapi yang lebih menakutkan bukan durasinya, melainkan siapa yang ada di balik layar itu,” jelas Henri.

Ia mengungkap praktik child grooming, proses manipulasi emosional oleh predator online yang semakin sulit dikenali. Algoritma juga menyumbang risiko: konten tidak pantas bisa muncul karena histori tontonan orang tua.

Untuk itu, ia menawarkan prinsip 4K dalam parenting digital:

  1. Kritis: ajari anak berpikir sebelum klik.
  2. Kreatif: dorong anak membuat konten positif.
  3. Konstruktif: pilih tayangan yang membangun karakter.
  4. Kolaboratif: orang tua tak bisa sendiri, libatkan guru, komunitas, dan negara.

Jika hari ini kita membiarkan anak-anak larut sendiri dalam dunia digital tanpa arahan, maka kita tengah menciptakan generasi yang terhubung secara teknologi, tapi terputus secara emosional dan sosial.

Sudah saatnya semua pihak bergerak: keluarga, sekolah, pemerintah, media, dan industri teknologi. Karena di balik setiap layar, ada masa depan yang sedang dibentuk, dan kita tidak bisa tinggal diam. buatkan realitas visual dari berita ini

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist