MASAKINI.CO – Bahtiar Gayo, salah satu wartawan senior di Dataran Tinggi Gayo menerima penghargaan dalam perannya meliput konflik serta damai Aceh beberapa dekade lalu. Penghargaan ini diserahkan pada Jumat malam (15/8/2025), di Balee Meuseuraya Aceh, Banda Aceh.
Penghargaan tersebut diberikan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Provinsi Aceh sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi sekaligus kontribusi para jurnalis yang terlibat langsung dalam liputan konflik bersenjata hingga mengawal proses perdamaian di Aceh.
Awalnya, Bahtiar Gayo mulai dikenal publik Aceh lewat tulisan-tulisan tajamnya di Harian Waspada.
Tentu saja, saat itu, meliput berita tidak sekedar tugas jurnalistik, tapi selalu dibayangi dengan resiko yang bahkan bisa mengancam nyawa.
Kurang lebih, 36 tahun sudah ia menekuni pekerjaan sebagai kuli tinta, berbagai pengalaman menegangkanpun tak luput dialaminya.
“Banyak pengalaman berharga sekaligus berbahaya yang saya rasakan ditengah konflik beberapa dasawarsa lalu. Ditangkap kedua belah pihak yang bertikai, terperangkap ditengah lesatan peluru. Saat-saat seperti itu, persoalan hidup dan mati ibarat setipis kulit bawang,” kenangnya.
Menjadi wartawan di masa konflik, kata Bahtiar, dirinya harus siap menghadapi risiko apapun.
Bahkan beberapa kali terjerat diantara pihak yang bertikai. Kendatipun demikian, informasi harus disampaikan ke publik, bagaimanapun caranya.
Bahtiar mengungkapkan pada beberapa kesempatan saat meliput di lapangan, seringnya ia pergi sendiri tanpa teman. Dalam hatinya selalu terucap munajat agar konflik di Aceh segera berhenti, biar masyarakat Aceh tidak sengsara.
“Beberapa kali air mata saya menetes. Melihat jasad tanpa nyawa bergelimpangan, kondisi jasad mereka memprihatinkan. Rumah-rumah tinggal abu. Ingatan-ingatan itu acapkali membuat saya susah tidur,” ucap Bahtiar.
Walaupun demikian, demi panggilan tugas dan tranparansi ke publik. Semua dijalaninya dengan ikhlas.
Ada kalanya, Bahtiar menjadi pemandu rekan rekan jurnalis dari luar untuk meliput langsung di Aceh Tengah. Berbagai kendala ia hadapi seperti susahnya melakukan komunikasi, saat itu hanya ada telepon rumah. Ketika kita di lapangan, sangat sulit terpantau atau memantau keberadaan seseorang baik sesama jurnalis atau pihak lain.
Salah satu pengalaman yang tidak bisa dilupakan Bahtiar, ketika mendapat salah satu berita eklusif, dirinya harus mengirimkan tulisanya dari Bireuen.
Bukan Aceh Tengah yang menjadi wilayah kerjanya. Seingatnya, saat itu, berita tersebut hanya dirilis di Waspada saja, perusahaan pers tempat ia bekerja.
“Tulisan tentang pembantaian Tgk. Bantaqiah di Beutong Atueh, awalnya redaksi curiga, karena saya mengirim faksimel bukan dari Takengon, namun dari Bireuen yang jaraknya 100 kilometer dari wilayah kerja saya,” imbuhnya.
“Masa itu, mengirim berita hanya dengan faxsimile dan telegram. Kebetulan faxsimile di Takengon ketika itu jaringanya bermasalah. Akhirnya berita itu saya kirimkan lewat Telkom Bireuen. Saya naik sepeda motor ke Bireuen ditemani gerimis,” imbuh Bahtiar.
Setelah sampai ke Takengon, barulah Bahtiar menelpon pihak Redaksi, bahwa berita itu dia yang kirim melalui facsimile di Bireuen. Tentu tidak mudah pulang pergi Takengon – Bireuen saat konflik berkecamuk. Namun demi publik tahu, dia nekat. Sampai akhirnya berita itu terbit keesokan harinya.
“Banyak kenangan, entah itu kenangan pahit atau manis yang saya alami saat konflik mencekam. Biarlah saya simpan di memori, merinding saya mengingatnya. Alhamdulillah Allah masih memberikan saya kesempatan hidup. Kesempatan yang mungkin tidak didapat sahabat-sahabat atau kolega yang juga ikut merasakan masa kelam itu,” tutupnya.