Upuh Tengkedep di Ujung Jaman

Upuh Tengkedep selimut khas Bener Meriah. | Syah Antoni/masakini.co

Bagikan

Upuh Tengkedep di Ujung Jaman

Upuh Tengkedep selimut khas Bener Meriah. | Syah Antoni/masakini.co

MASAKINI.CO – Tubuh Kelimah terbaring lesu. Diusia menjelang delapan puluh tahunan, perempuan yang akrab disapa Inen Hasbolah itu sedang berupaya melawan sakit yang dideritanya sejak beberapa tahun lalu.

Meskipun sedang sakit, ia tetap semangat mengobrol dengan siapa saja yang datang menjenguk.

Seperti biasa, ia nampak mengenakan selimut yang lazim membalut tubuhnya. Kelimah menyebutnya upuh tengkedep. Selimut tersebut merupakan salah satu selimut favoritnya.

Kelimah bercerita, dulunya ia memiliki banyak sekali koleksi upuh tengkedep. Ia membuat sendiri selimut-selimut tersebut baik dengan tangan maupun mesin jahit jadulnya. Namun belakangan hanya dua selimut yang tersisa, sebagian diberikan kepada anak dan cucunya.

Upuh tengkedep merupakan selimut yang terbuat dari kain-kain sisa atau pakaian yang tidak lagi dipakai seperti kain sarung, baju bahkan celana. Atau dalam beberapa kesempatan ibu-ibu jaman dulu juga menggunakan karung tepung yang terbuat dari kain sebagai bahan pembuatan upuh tengkedep.

Kain-kain tersebut ditambal ke selimut yang mulai bolong atau tidak layak pakai sehingga dapat dipergunakan kembali.

“Kurang lebih Tengkedep berarti ditambal atau tambal. Biasanya dalam proses pembuatannya, kain-kain sisa atau pakaian bekas ditambal ke selimut yang sudah tidak terpakai lagi. Tujuan ditambal keselimut agar mengikuti bentuk selimut atau berbentuk selimut,” ungkap Kelimah.

Menurut warga Tingkem Bersatu, Kecamatan Bukit ini upuh tengkedep lebih hangat ketimbang selimut blanket. Hal tersebut dikarenakan ketebalannya. Apalagi dataran tinggi Gayo yang beriklim sejuk, selimut tersebut sangat cocok dipakai menghangatkan tubuh sepanjang malam.

Selain menghangatkan tubuh, dahulu selimut yang sering juga disebut upuh gunel atau upuh masam jing tersebut mempunyai kegunaan lain yaitu untuk menghangatkan makanan.

Caranyapun sangat mudah. Nasi atau sayur yang telah matang dalam keadaan panas dipindahkan ke dalam panci. Panci kemudian ditutup lalu dibalut dengan upuh tengkedep. Lazimnya makanan akan tetap hangat saat waktu makan tiba.

“Makanan yang hangat tentu lebih nikmat. Dulu tidak ada rice cooker seperti sekarang. Jadi, membalut nasi atau makanan lain dengan upuh tengkedep satu-satunya cara menghangatkan makanan tanpa repot menyalakan api,” kenangnya.

Nenek Kelimah, Warga Tingkem Bersatu, Kecamatan Bukit, Bener Meriah. | Syah Antoni/masakini.co

Kian Langka

Seiring berjalannya waktu, keberadaan upuh tengkedep mulai jarang ditemui. Kelimah menduga alasan berkurangnya selimut unik tersebut akibat banyaknya produk-produk selimut dari luar seperti blanket dan jenis selimut lain di pasaran.

Upuh tengkedep kalah saing dengan selimut modern yang lebih praktis. Tidak perlu lelah menjahit. Cukup mengeluarkan budget yang tidak terlalu besar langsung bisa dibawa pulang untuk menghangatkan badan.

Belum lagi bobot selimut dipasaran yang lebih ringan dibandingkan upuh tengkedep yang berpengaruh saat proses pencucian diyakini Kelimah menjadi penyebab mulai jarang terlihatnya upuh tengkedep.

Kendatipun demikian, Kelimah menaruh asa agar eksistensi selimut tersebut tetap terjaga sebagai bagian kebudayaan masyarakat Gayo jaman dulu. Selain itu, penggunaan upuh tengkedep mampu meminimalisir limbah tekstil.

“Semoga generasi sekarang tetap menjaga budaya leluhurnya. Banyak hal positif didapat saat membuat upuh tengkedep,” kata Kelimah.

Ia menyebut beberapa manfaat bila membuat upuh tengkedep, “seperti peningkatan kreatifitas, meminimalisir prilaku boros dan yang terpenting menjaga budaya datu (orang tua jaman dulu),” sebutnya.

“Jangan sampai upuh tengkedep bernasib sama dengan tikar Kertan,” pungkas Kelimah.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist