Mengintip Jemaah Tawajuh Suluk di Darul Aman

Jemaah suluk wanita di Dayah Darul Aman, Aceh Besar. | Ahmad Mufti/masakini.co

Bagikan

Mengintip Jemaah Tawajuh Suluk di Darul Aman

Jemaah suluk wanita di Dayah Darul Aman, Aceh Besar. | Ahmad Mufti/masakini.co

MASAKINI.CO – Sejumlah wanita lanjut usia mengantre di sebuah bak. Seluruhnya memakai mukena yang serba putih.

Secara tertib membasuh tangan, muka hingga kaki. Selesai. Satu per satu memasuki bangunan tiga tingkat di Dayah Darul Aman, Desa Lampuuk, Kecamatan Tungkop, Aceh Besar.

Dalam ruang itu, para jemaah melaksanakan shalat fardhu, sunnah, hingga shalawat.

Allahu’ala sayyidina Muhammad,” lantunan itu terdengar berulang-ulang, Ahad 17 Maret lalu.

Pemimpin tawajuh suluk di Dayah Darul Aman, Aceh Besar. | Ahmad Mufti/masakini.co

Seorang syeh atau teungku yang memandu 100 Jemaah Suluk di Dayah itu berada di barisan depan. Ada sekat pemisah antara laki-laki dan perempuan.

Ino tanyoe ta shalat Ashar dengan khusyuk (Sekarang kita shalat Ashar dengan khusyuk),” kata Syeh seraya berdiri dari sajadah miliknya.

Usai empat rakaat ditutup dengan salam, lantunan zikir kembali bergema. Lafaz kalamullah sayup di asrama perempuan.

Jemaah duduk bersila dengan jari jemari yang lincah memutar manik-manik tasbih.

Tak lama, mereka menutupi kepala hingga wajah dengan kain serban atau mukena bagi jemaah perempuan.

Sikap itu menandakan jamaah hendak melaksanakan tawajuh. Tawajuh bermakna menghadap diri dan membulatkan hati kepada Allah SWT yang merupakan bagian dari ibadah suluk.

“Nah itu kegiatan puncaknya,” celutuk ketua yayasan Dayah Darul Aman, Tgk Saifullah.

Suluk bisa dikatakan sebuah ritual keagamaan yang ada di Serambi Mekkah. Para jemaah diajak untuk berzikir secara terus-menerus mengingat Allah dan mendekatkan diri untuk memperoleh keridhaan Allah SWT.

Wajahnya tak terlihat jelas saat berzikir. Semua tatapan menunduk. Suaranya pun tak kedengaran.

Mereka diharuskan khusyuk dan tak menghiraukan pengaruh luar. Itulah alasan di balik menutup muka dengan kain.

Jemaah berzikir saat suluk di Dayah Darul Aman, Aceh Besar. | Ahmad Mufti/masakini.co

Menurut Tgk Saifullah saat proses pelaksanaan tawajuh jemaah membacakan 70 ribu kali kalam Allah.

Ibadah suluk ini mulai berkembang di Aceh pada 1970-an yang dibawa ulama Abuya Syeh Muda Waly Al Khalidi. Selanjutnya, ibadah suluk ini disebarluaskan oleh muridnya ke berbagai daerah termasuk di Dayah Darul Aman ini.

Jemaah suluk di sana tak hanya santri, akan tetapi mayoritasnya masyarakat umum yang ingin menyerahkan diri kepada sang pencipta saat bulan suci.

“Ada yang datang Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur, Aceh Utara, Sabang, Banda Aceh dan Aceh Besar,” sebut Saifullah.

Usia tak jadi penghalang, kata Saifullah suluk di Dayah Darul Aman hampir seluruh ibu-ibu yang berusia 50 ke atas.

Kegiatan suluk di Dayah Darul Aman ini telah menjadi rutinitas tahunan. Dalam setahun, suluk dilakukan tiga gelombang. Pertama, pada bulan Ramadan. Kedua, pada bulan Haji atau Zulhijjah. Ketiga, musim Maulid, tepatnya saat Rabiul Awal.

Selama suluk mereka tinggal di sana, ada yang menjalaninya selama 40 hari, 30 hari dan 10 hari.

“Kalau ibu-ibu kebanyakan ambil 30 hari, kecuali bapak-bapak karena mereka harus mencari nafkah,” tuturnya.

Ia mengungkapkan, tahun ini jumlah jemaah mengalami peningkatan jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya. Biasanya jemaah hanya sekitar 40 hingga 80 orang.

Nah, saat melakukan kegiatan spiritual suluk, para jemaah tidak bisa sembarangan mengonsumsi makanan. Ada pantangan-pantangan tertentu yang harus diikuti.

Misalnya, para jemaah tidak boleh memakan makanan yang berdarah, seperti ikan dan daging. Tujuannya agar terhindar dari nafsu duniawi dan tidak mengantuk karena pengaruh makanan.

“Mereka hanya mengonsumsi makanan mengandung nabati seperti sayur-sayuran,” tambahnya.

Tak hanya melakukan kegiatan tawajuh, jemaah yang mengikuti suluk juga tak meninggalkan beragam shalat sunnah yang dibarengi sebelum dan usai shalat fardhu.

Jemaah suluk di Dayah Darul Aman, Aceh Besar. | Ahmad Mufti/masakini.co

Hampir penuh 24 jam, jemaah suluk menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Meski jauh dari keluarga, keseriusan dalam mencari Ridha Allah tetap ditekuninya.

Terkait konsumsi dan akomodasi jemaah, Teungku Saifullah menyebutkan setiap orang dibebankan Rp110 ribu dan lima kilogram beras per 10 hari.

Di tempat yang sama, sejumlah pria tampak sibuk menyiapkan menu berbuka bagi jemaah. Ada yang betugas menanak nasi, membuat minuman berbuka serta memasak sayur mayur untuk jadi teman nasi.

Seperti yang diutarakan seorang jemaah suluk, Siti (70). Ia rela datang jauh dari Pidie untuk melakukan kegiatan spiritual suluk.

Ia mengaku pergi bersama tujuh teman-teman sebayanya yang juga berasal dari daerah yang sama.

Kamoe meujak rame-rame (kami pergi ramai-ramai),” kata Siti.

Meski sudah lanjut usia, keinginan menuntut ilmu tak pudar. Bahkan kegiatan suluk di Dayah Darul Aman bukan kali pertama bagi Siti.

Bahkan ia telah mengikuti tiga kali suluk di tempat yang sama.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist