MASAKINI.CO – Tak jauh dari perempatan tengah Kota Blangpidie, arah menuju ke Jalan At Taqwa, berdiri sebuah warung berdinding kayu. Silih berganti orang keluar masuk dari warung itu. Sedari terbit matahari hingga pukul 10 malam hari.
Apa pemantik yang menarik orang-orang berkunjung ke warung itu? Jawabannya adalah; semangkuk mie kocok khas Abdya.
Blangpidie adalah ibu kota Kabupaten Aceh Barat Daya. Sejak daerah itu resmi berdiri 2002 lalu, entah bagaimana mulanya orang lebih cenderung menyemat singkatannya menjadi Abdya.
Kehidupan di kota ini menggeliat sejak terang tanah. Ini terlihat dari orang-orang yang keluar masjid usai menunaikan salat subuh lalu memenuhi warung berdinding kayu itu. Namanya ‘Warkop Muslim’.
Banyak orang di Abdya memulai hari dengan meneguk secangkir kopi hangat di sana. Sebagai pengganjal perut, mereka memesan sepiring mie kocok. Kuliner ini adalah primadona untuk sarapan masyarakat di kabupaten berjuluk Breuh Sigupai itu.
Secara visual mie kocok ini tampak sederhana. Mienya terbuat dari tepung beras yang diolah secara rumahan. Ada dua jenis mie yang tersaji. Pertama mie kuning dan mie tiaw. Biasanya, orang lebih memilih keduanya dicampur.
Istilah kocok dalam nama hidangan ini merujuk kepada proses memasaknya, yaitu mengocok-ngocok mie dalam wadah logam bolong-bolong bergagang.
Kuliner yang satu ini banyak tersebar di berbagai daerah di Nusantara. Konon di Abdya sendiri, hidangan ini dibawa oleh pengelana dari keturunan Cina. Merekalah yang pertama mengenalkan mie kocok ke lidah masyarakat lokal hingga menjadi sebuah kuliner khas daerah berpenduduk 100 ribu lebih jiwa itu.
Mereka yang datang atau hanya sekadar melintasi Kabupaten Abdya pasti melekat di benak untuk ingin menyantap kuliner tersebut. Maka kini mie kocok Abdya bukan lagi hanya sebatas kudapan, dia telah melampaui itu, masuk menjadi bagian dari identitas daerah tersebut.
Meski kuliner ini tersebar di banyak daerah, penyajian mie kocok nyaris tak selalu sama. Di Abdya, sepiring mie kocok dilumuri kuah kaldu bening. Berikutnya toge, cacahan seledri, dan bawang goreng turut serta melengkapi. Terakhir penyajiannya ditutup dengan topping cincangan halus ayam.
Di Blangpidie ‘Warkop Muslim’ salah satu warung penyedia mie kocok. Meski berdinding papan dengan meja kayu dan kursi-kursi plastik di dalamnya, warung ini tak pernah sepi.
Pemilik warung kini adalah generasi ketiga. Bermula dari sang kakek yang merintis warung itu sejak 1968. Mereka buka setiap hari, mulai dari subuh hingga pukul 10 malam.
Mie kocok di warkop muslim memiliki cita rasa kuah kaldu yang segar. Mie kuning dan tiaw yang bercampur jadi satu itu begitu lembut saat dikunyah. Ayam cincang yang menjadi topping-nya pun tak kalah juara, terasa lembut ketika masuk ke mulut.
Di atas meja tersedia acar bawang dan cabai. Juga ada saus, cuka dan kecap. Pengunjung boleh ambil sepuasnya. Menyantap mie kocok di sana makin lengkap nikmatnya jika pakai perkedel dan telur rebus.
Belakangan kuliner ini telah menjadi oleh-oleh khas Abdya. Banyak orang memesannya dari berbagai daerah. Agar aman untuk disantap hingga sampai ke tempat tujuan, warkop muslim mengakali cara penyajiannya.
Mie tak langsung dicampur dengan kuah kaldunya, melainkan dipisah. Biar makin awet, mie dibungkus pakai daun pisang. Sementara acar, cincangan ayam, dan kuah mie dibungkus dalam wadah terpisah. Tahannya bisa sampai sehari.
Lalu berapa seporsi mie kocok khas Abdya di Warkop Muslim ini? Penuturan sang pemilik, meski sejumlah bahan untuk membuat mie kini naik, mereka masih tetap setia dengan harga yang ramah dikantong. Sepuluh ribu rupiah saja.