Dispensasi Nikah Anak Usia di Bawah 19 Tahun Meningkat

Ilustrasi pernikahan anak | surabayapagi

Bagikan

Dispensasi Nikah Anak Usia di Bawah 19 Tahun Meningkat

Ilustrasi pernikahan anak | surabayapagi

MASAKINI.CO – Angka perkawinan anak di bawah usia 19 tahun cukup memprihatinkan, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023, angka perkawinan anak di bawah usia 19 tahun capai 4.319 orang di Aceh.

Tahun lalu, Mahkamah Syar’iyah Jantho mencatat di Aceh Besar 54 anak di bawah umur mengajukan dispensasi nikah. Mereka dinikahkan karena hamil dan ketangkap warga.

Dalam keterangan resminya Juru Bicara Mahkamah Syar’iyah Jantho, Fadlia. “Angka pernikahan dini di Kabupaten Aceh Besar masih tergolong tinggi, berdasarkan data, di tahun 2022 Mahkamah Syariyah Jantho menangani 54 perkara dispensasi nikah,” kata Fadlia, Februari 2023.

Ia menjelaskan mereka yang mengajukan dispensasi nikah karena berbagai alasan, termasuk mengajukan hamil di luar nikah.

“Melakukan hubungan layaknya hubungan suami dan istri, ditangkap oleh masyarakat karena selalu berduaan, dan putus sekolah,” jelasnya.

Saat itu Fadlia juga menyebutkan, alasan itu diketahui karena para pemohon wajib menyertakan alasan ketika mengajukan dispensasi nikah.

Selain itu, penyertaan alasan itu juga menyebabkan sebagian anak di bawah umur enggan mengajukan dispensasi nikah.

“Dari 54 perkara, 52 perkara di antaranya telah diputuskan sedangkan dua perkara dicabut,” jelasnya.

Dispensasi Nikah dan Risiko

Dispensasi menikah ini diajukan apabila salah satu dari pasangan calon belum cukup umur  untuk menikah atau masih di bawah usia 19 tahun.

Sebelumnya dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemerintah hanya mengatur batas usia minimal perempuan untuk menikah yakni 16 tahun.

Kemudian, UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019, di mana dalam UU tersebut batas minimal usia boleh menikah yaitu 19 tahun.

Kepada wartawan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana menyatakan anak yang menikah di bawah usia 19 tahun karena kondisi tertentu memiliki kerentanan lebih besar dalam mengakses pendidikan, kesehatan, serta memiliki potensi besar mengalami kekerasan.

Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, S.STP, M.Si

“Anak yang dikawinkan di bawah usia 19 tahun memiliki kerentanan akses terhadap kebutuhan dasar, seperti pendidikan, ekonomi sehingga berpotensi melanggengkan kemiskinan antar generasi. Pastinya ini menjadikan circle (lingkaran) kemiskinan,” jelasnya.

Perkawinan anak di bawah usia 19 tahun, menurut Meutia, bisa saja dialami oleh anak laki-laki. Namun, jumlahnya tidak sebanyak yang dialami perempuan.

“Prevalansi 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Dan hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun,” jelasnya.

Karena itu, resiko bagi anak perempuan menikah di bawah usia 19 tahun lebih tinggi. Untuk Aceh sendiri angka perkawinan anak juga meningkat meski di bawah angka nasional.

Masalah ini menurut Meutia sangat mengkhawatirkan dan suatu urusan yang tidak bisa disepelekan.

Cegah Perkawinan Anak

Sebagai langkah konkret untuk pencegahan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI telah meluncurkan Strategi Nasional (Stranas) tentang pencegahan usia kawin anak.

Pemerintah Aceh, melalui DPPPA Aceh juga sedang menyusun Strategi Daerah (Strada) yang menjadi turunan dari lima Strategi Nasional (Stranas) tentang pencegahan usia kawin anak.

Di antaranya optimalisasi kapasitas anak, lingkungan yang mendukung pencegahan kawin anak, aksesibilitas dan perluasan layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan, serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.

Menurutnya, Stranas ini menjadi dokumen strategis atau acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun di daerah.

“Di Aceh walaupun terlambat, saya rasa merupakan strategi yang baik 4 tahun kemudian kita akan coba jadikan ini Strategi Daerah (Strada),” sebutnya.

Selain itu, Pemerintah Aceh melalui DPPPA, jelas Meutia, terus berupaya memberikan perlindungan bagi anak melalui berbagai upaya preventif, promotif dan penanganan. Di antaranya, melalui Pelatihan Aktivis Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dengan melatih aktivis yang menjadi pelapor serta pelopor dari akar rumput dari tingkat gampong (desa).

“Juga kita laksanakan workshop atau bimtek pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi aparatur gampong, organisasi, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta pemerhati anak dan perempuan,” beber Meutia.

Namun dia menyadari bahwa sebanyak apapun kebijakan atau pun regulasi, pencegahan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun tetap tidak bisa dilakukan satu arah, melainkan diperlukan usaha, sinergisitas, kolaboratif serta terpadu dalam mencegah angka perkawinan anak di Aceh.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist