Ragam Cara Telaga Art Merawat Seni Budaya

Kelas belajar akting untuk anak-anak yang dibina komunitas telaga Art

Bagikan

Ragam Cara Telaga Art Merawat Seni Budaya

Kelas belajar akting untuk anak-anak yang dibina komunitas telaga Art

MASAKINI.CO – Di tepian sungai yang telah lama kering, tiga sekawan membagun ruang kreatif. Mereka menamainya Telaga Art. Lokasinya di kawasan Lambhuk, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh.

Para seniman muda yang mendirikan Telaga Art tahun 2021 tersebut, Tezul Fajri, Fauzu Hilal Suwardi, dan Mirja Irwansyah. Ketiganya merupakan alumni Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UIN Ar Raniry, Teater Rongsokan.

Telaga Art memiliki misi menghadirkan ruang alternatif dan pengembangan seni di Banda Aceh. Mereka memanfaatkan tempat yang terbuka dan inklusi.

Berbagai kegiatan dijalankan di Telaga Art, diantaranya Telaga Temu, sebuah forum diskusi terbuka yang menjembatani isu-isu sosial, budaya, hingga pendidikan. Dalam bulan Ramadan, forum ini berubah wajah menjadi Tadarus Seni, sebuah malam perenungan usai Tarawih.

“Di sini tidak ada audiens dan pembicara, yang ada hanya sesama manusia yang saling mendengar,” kata Mirja tentang konsep Telaga Temu.

Mereka juga memiliki program Monolog 1 per 3, sebuah eksperimen pementasan satu naskah yang digarap dalam tiga konsep berbeda oleh tiga sutradara dan tiga aktor. Konsep ini tak hanya menawarkan keragaman tafsir, tetapi juga mendorong eksplorasi mendalam terhadap karya.

Telaga Art juga membuka kelas akting reguler sebanyak 12 pertemuan per angkatan. Awalnya ditujukan untuk remaja dan dewasa, namun belakangan mereka juga menerima anak-anak usia dini. Anak-anak mulai dikenalkan dunia peran untuk pengembangan diri.

“Memang tantangan ketika anak-anak belum bisa membaca, tapi bagi kami yang penting mereka pernah terpapar. Siapa tahu ketika dewasa, mereka akan ingat bahwa pernah ada momen mereka bermain peran,” ujar Mirja.

Berkesenian di Aceh tentu tak lepas dari tantangan nilai-nilai lokal yang ketat. Namun alih-alih menjadikannya batas, Telaga Art memilih jalan “cok hate [ambil hati]” mendekati masyarakat dengan cara yang lembut dan akrab.

“Kita mulai dari yang familiar, lalu perlahan membuka ruang tafsir. Yang penting seni itu bisa menyentuh, bukan menjauhkan,” tutur Mirja.

Dua pendiri Telaga Art Space, Tezul (kiri) dan Mirja (kanan).

Telaga Art tengah menyiapkan langkah besar berikutnya, Telaga Art Festival. Sebuah pekan seni yang dirancang menjadi ruang pertemuan lintas komunitas dan lintas disiplin. Ada pertunjukan, workshop, pameran, dan diskusi, semua dirancang sebagai bentuk seni yang bisa dijangkau dan dirasakan masyarakat luas.

“Kami ingin menghidupkan seni seperti masa lalu. Seni yang membaur, bukan yang mengawang,” tutur Mirja.

Dari kacamata seni, ternyata bahasa daerah juga menjadi sebuah budaya yang mesti dijaga. Kini, banyak anak-anak Aceh sudah melupakan bahasa daerah, mereka lebih sering menggunakan bahasa nasional.

“Ini yang kita khawatirkan, maka kita berinisiatif untuk membuat kelas bahasa daerah ke depan,” tuturnya.

Dalam hal pendanaan, mereka juga aktif mengikuti program dari lembaga pemerintah, meski birokrasi kadang menjadi tantangan tersendiri. Bagi mereka, membangun komunitas berarti belajar beradaptasi dan mencari celah untuk terus hidup dan tumbuh.

Bagi Telaga Art, seni bukanlah jawaban yang instan. Ia adalah perjalanan panjang, kadang sunyi, tapi selalu mengarah pada sesuatu yang lebih jernih.

“Hari ini anak-anak mungkin hanya bermain drama kecil. Tapi beberapa tahun ke depan, bisa jadi mereka akan ingat dan merasa itu penting. Di sanalah seni bekerja pelan, tapi menetap,” tutup Mirja.

Telaga Art terus berupaya mengembangkan seni dan kebudayaan Aceh, serta menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk berekspresi dan mengembangkan kreativitas mereka. Telaga Art juga menjadi contoh bagi komunitas-komunitas lain bahwa seni dapat menjadi alat untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist