Diantara Sepi, Berharap Pasar Aceh Cuan Kembali

Seorang pedagang menanti pembeli di lorong sepi kawasan Pasar Aceh, Banda Aceh. I Foto: Riska Zulfira/masakini.co

Bagikan

Diantara Sepi, Berharap Pasar Aceh Cuan Kembali

Seorang pedagang menanti pembeli di lorong sepi kawasan Pasar Aceh, Banda Aceh. I Foto: Riska Zulfira/masakini.co

MASAKINI.CO – Matahari belum tinggi saat Ola (30) membuka lapaknya di Pasar Aceh. Ia memajang kemeja dan blouse bermotif bunga di atas manekin, seperti yang dilakukannya setiap hari selama 6 tahun terakhir.

Tapi pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, langkah kaki pembeli bisa dihitung jari.

Tak sendiri, Ola dibantu rekannya. terkadang ia menatap kosong ke arah lorong pasar yang lengang. Deru kipas angin dan suara sandal sesekali menjadi satu-satunya tanda kehidupan di antara barisan toko yang terjaga, tapi sunyi.

Tidak ada riuh tanya-jawab harga, tidak ada antrean panjang di depan kios baju. Padahal, tiga pekan menjelang Lebaran, pasar ini dulunya seperti lautan manusia, penuh warna dan suara. Kini, hanya bayang-bayang kejayaan yang tersisa.

“Dua tahun terakhir semakin sepi, duduk menunggu pembeli,” kata Ola tersenyum kecut, pekan awal Mei lalu.

Toko Ola merupakan satu dari ratusan pedagang pakaian di Pasar Aceh yang kini harus menghadapi kenyataan pahit. Pembeli lebih suka berbelanja lewat layar ponsel dari pada menginjakkan kaki ke pasar.

Dulu, lorong-lorong yang menghubungkan pertokoan pasar ini ibarat nadi kota yang berdenyut kencang. Warga dari seluruh penjuru Banda Aceh, Aceh Besar dan warga dari Kabupaten lain sengaja ke Pasar Aceh untuk berbelanja.

Tapi kini, lesu hanya para pedagang yang tersisa. Mereka juga mulai kalah saing dengan menjamurnya distro lokal di Aceh.

Ola, yang sudah lebih dari setengah dekade berdagang di sana, mengaku tahun ini adalah yang paling sepi. Bahkan lebih sepi dari masa pandemi. Bahkan kejadian seperti ini juga dirasakannya saat lebaran tiba.

“Kalau dulu dua minggu sebelum Lebaran, saya sudah bisa putar modal. Sekarang, jangankan untung, balik modal saja belum,” ujarnya.

Di tokonya, berbagai baju tergantung rapi, gamis-gamis dari Tanah Abang, kaftan sutra dari Thamrin, hingga atasan motif dari Bangkok yang biasanya jadi incaran pelanggan muda. Namun, semuanya kini seolah hanya jadi pajangan bisu yang menunggu disentuh.

Seorang pedagang di Pasar Aceh, Ola merapikan dagangannya. I Foto: Riska Zulfira/masakini.co

Digitalisasi yang Menyisakan Luka

Seiring perkebangan zaman, arus belanja digital semakin deras. Masyarakat kini lebih memilih bertransaksi di marketplace, memilih barang dari galeri ponsel sambil rebahan.

Masyarakat lebih memilih berbelanja dengan santai, tanpa perlu mengeluarkan tenaga saat hunting pakaian baru. Sedangkan Ola, seperti banyak pedagang lain, masih harus berdiri menunggu pembeli yang mungkin tak pernah datang.

Ola mengaku belum berani beralih jualan secara online. Selain modal yang tidak cukup, ia meyakini bahwa perputaran uang berjualan offline lebih menjamin.

“Saya sempat coba jual online, tapi susah. Stok barang harus banyak, modal juga besar,” ujar Ola.

Bisa dibilang, “kami masih main aman, karena takut rugi.”

Berjualan online, bukan hanya soal unggah foto lalu menunggu pembeli. Butuh manajemen stok, promosi intensif, bahkan pengemasan yang menarik dan menjamin barang sampai kepada pelanggan.

“Belum lagi nanti ada yang return pesanan, itu yang membuat kita rugi,” tuturnya.

Ironisnya, di tengah perjuangan itu, muncul pula anggapan bahwa harga-harga di Pasar Aceh terlalu mahal. Sebuah stigma yang, menurut Ola, tidak sepenuhnya benar.

Penilaian itu bukanlah hal baru yang kerap diterima pedagang, bahkan sejak dulu. “Kita memang sewa lapak di sini, tapi harga juga kita sesuaikan dengan barang,” ujarnya.

Jika pun ada yang mahal, sesuai dengan kualitas suatu barang yang dijual.  “Tapi banyak juga yang murah, bahkan jauh lebih murah dibanding toko lain,” celutuknya.

Untuk menepis stigma itu, para pedagang sebenarnya telah berupaya melakukan promosi secara mandiri mulai dari mengunggah story di media sosial WhatsApp dan Instagram, namun jangkauannya terbatas.

“Kami butuh dorongan dari pemerintah, agar geliat pasar kita ini kembali hidup,” harapnya.

Dalam diamnya lorong-lorong yang pernah sesak, para pedagang tetap menjaga kualitas dan harga barang yang ditawarkan. Meski telah diterjang dengan hadirnya toko-toko millenial dan berkembang pesat secara online, mereka tetap menjadikan Pasar Aceh sebagai tempat mengais rupiah.

“Karena disini menjadi denyut ekonomi rakyat kecil,” ucapnya.

Berbeda dari Ola, pedagang lainnya, Fahmi memilih putar haluan ke platform digital. Lesunya aktivitas jual beli di Pasar Aceh membuat sejumlah pedagang mulai mencari cara baru untuk bertahan.

Meski tak mudah, mereka tak punya banyak pilihan selain mengikuti arus zaman. Fahmi menjajakan dagangan lewat gawai dan aplikasi. Ia mengaku  sekitar 80 pesen dagangannya beralih ke penjualan melalui e-commers sejak 2024 lalu.

Setiap hari, pria 40 tahun sibuk cuap-cuap di depan layar handphone miliknya. Menggunakan alat penyangga seperti tripod dan ringlight  sebegai penerang agar jualannya lebih menarik dan memadai. Hasilnya tak main-main.

Menurunya, setelah beralih ke platform digital dagangannya meningkat hingga tiga kali lipat dibandingkan jualan secara offline. Meski membutuhkan tenaga ekstra dalam mempromosikan, tapi jualan secara live lebih menjanjikan.

“Lakunya lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Jauh berbeda dibandingkan secara offline,” terangnya.

Fahmi mulai berjualan di Pasar Aceh sejak 2020. Dulu sebelum pandemi COVID-19, suasana pasar masih ramai dan menyenangkan. Tapi kini, kondisinya jauh berubah. Banyak kios tutup, pengunjung makin sedikit.

“Beda jauh banget, sehari paling laku Rp2-3 juta, itu juga kalau dekat Lebaran. Tapi lewat live TikTok, sehari bisa sampai Rp8 juta,” ungkapnya.

Fahmi aktif live dua kali sehari, biasanya pukul 12 siang dan pukul 3 sore. Dalam satu sesi, ia bisa menjual hingga 40-50 potong pakaian. Konsumennya pun datang dari berbagai daerah di Indonesia seperti  Kalimantan, Jambi, Jawa,  dan dari  Aceh sendiri.

Meski begitu, Fahmi juga menghadapi tantangan. Salah satunya soal retur dan refund barang. Tapi menurutnya, itu sudah jadi risiko yang harus dihadapi pedagang online.

Tak mengenal lelah, Fahmi menaruh harapan besar sebagai pedagang. Ia juga berharap pemerintah bisa hadir memberikan solusi nyata bagi pedagang yang masih bertahan, agar pasar kembali hidup dan daya beli masyarakat meningkat.

“Kita cuma mau ekonomi bergerak lagi. Biar semangat jualan, dan nggak cuma ngandelin online terus,” tutupnya.

Seorang pedagang di Pasar Aceh, Fahmi sedang berjualan online. I Foto: Riska Zulfira/masakini.co

Ratusan Toko Pasar Aceh Tutup

Pasar Aceh kembali dibangun pada tahun 2005 pasca Tsunami meluluhlantakkan Tanoh Rencong. Pasar tradisional ini telah menjadi tempat bergantung hidupnya ratusan pedagang. Kini kondisi pasar tersebut mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Banda Aceh.

Direktur Eksekutif Kadin Banda Aceh, Muhammad Luthfi, menyoroti kondisi ekonomi lokal yang dinilai masih penuh tantangan.

Kini, ratusan toko di pusat perdagangan Pasar Aceh tutup dan tak lagi berjualan. Pemandangan ini bukan sekadar soal sunyinya aktivitas belanja, tapi menjadi cermin nyata kondisi ekonomi Banda Aceh yang memerlukan perhatian serius.

Dari lebih 500 toko yang ada di Pasar Aceh, sekitar 285 di antaranya saat ini tak lagi beroperasi. Menurutnya, ini bukan sekadar angka, tapi sinyal peringatan bahwa denyut ekonomi lokal sedang melambat.

“Pasar Aceh dulunya simbol perdagangan Banda Aceh. Tapi kini kondisinya memprihatinkan. Ini jadi konsentrasi utama kami untuk membantu pemerintah memulihkan ekonomi daerah,” kata Luthfi dalam Rapim Kadin, Mei lalu.

Ia menyoroti kondisi fisik pasar yang dinilai tak lagi memadai, serta pengelolaan yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Salah satu gagasan yang ditawarkan Kadin misalnya menjadikan Pasar Aceh sebagai pasar tematik dan memanfaatkan area rooftop untuk menarik pengunjung, melalui kerja sama dengan pihak swasta.

“Rooftop seharusnya bisa dilelang untuk dimanfaatkan secara produktif. Bisa jadi pusat UMKM, kafe, atau ruang usaha lain yang menarik. Tapi sekarang dibiarkan kosong,” ujarnya.

Luthfi menilai pasar-pasar tradisional dan modern di Banda Aceh saat ini stagnan karena tak ada pengembangan. Sementara pedagang mulai ditinggalkan pembeli yang kini beralih ke platform digital.

“Pedagang kita belum dibekali kemampuan berjualan secara online. Ini jadi PR besar. Karena kalau tidak dipersiapkan, mereka akan makin tertinggal,” ujarnya.

Karena itu, Kadin Banda Aceh berkomitmen mendorong pelatihan dan pendampingan bagi pelaku usaha agar mereka bisa beradaptasi, mulai dari penguasaan digital marketing, manajemen stok, hingga promosi melalui media sosial.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist