MASAKINI.CO – Cuaca begitu terik. Di bawah topi caping, peluh membasahi wajah Rahmi Aidal Fitri. Ia menjemur kelapa yang sudah dikukur di halaman rumahnya. Setiap hari.
Tangannya cekatan menjemur kelapa yang telah dikukur, sembari sesekali mengelap keringat. Kelapa-kelapa itu menjadi cikal bakal harapan, dan sumber penghidupan yang kini Rahmi dan suaminya racik setiap hari.
Aktivitas ini dilakoninya bersama sang suami sejak enam bulan terakhir. Ia memilih hijrah dari Takengon, Aceh Tengah, ke Desa Lagang, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.
Dari mantan pebisnis grosir, kini ia menyatu dengan aroma kelapa sangrai dari halaman depan rumahnya yang disulap jadi pabrik mini, nyaris tanpa jeda.
Di rumah mereka yang bersahaja, usaha “Kelapa Gongseng Sinar Mas” lahir. Ia bukan chef. Bukan pula ahli bumbu. Tapi semangatnya mengolah Ue Neulheu, bumbu khas Aceh dari kelapa sangrai menjadikan rumahnya sebagai saksi kerja keras dari nol.
Ue Neulheu, yang dulunya hanya hadir lewat racikan tangan-tangan tua di dapur nenek, kini bangkit dari tangan Gen Z.
Sejak pukul 7 pagi, pasangan muda itu sudah mulai mengukur kelapa. Jika cuaca bersahabat, kelapa cukup dijemur selama tiga jam.
Setelah kering, kelapa langsung digongseng dalam kuali besar. Aromanya merebak ke seluruh komplek. Ketika bewarna kecoklatan, kelapa kukur ini akan digiling hingga halus dan berminyak.
Barulah kemudian dikemas dalam berbagai ukuran.
“Capek? Iya. Karena prosesnya bisa dari pagi sampai malam hari,” kata Rahmi memulai pembicaraan, Sabtu (21/6/2025).
Rahmi mengisahkan perjalanannya. Banting stir dari usaha grosir membuat dirinya bingung dan kewalahan dalam memproduksi ue neulheu. Awalnya ketertarikan ini berkat ajakan saudaranya yang 10 tahun lebih dulu berkiprah dalam usaha pembuatan ue neulheu.
“Mereka menyarankan kami, kenapa nggak coba kelapa gongseng aja, kata kakak waktu itu,” ujarnya.
Rahmi awalnya ragu. “Saya pikir, siapa juga yang mau beli, karena persaingan pasar,” ucapnya.
Tak langsung berjalan mulus. Rahmi awalnya menawarkan ue neulheu nya pada orang-orang sekitar secara door to door. Namun banyak mendapatkan penolakan.
Bahkan pernah laku 1 kilogram per hari, dari total produksi 50 kilogram awalnya. “Pulang-pulang nangis sejadi-jadinya,” kenangnya sambil tersenyum getir.
Usianya baru menginjak 24 tahun. Merintis usaha jadul ini sempat membuat dirinya malu dengan teman-temanya. “Kadang kawan saya kuliah dan nongkrong di cafe, tapi saya harus banting stir jadi pembuat ue nelheu. Makanya sempat malu,” tuturnya.
Tak ada pilihan, selain memulai. Modal nekat, akhirnya mulai keliatan arah.
Titik balik datang saat Rahmi mulai merekam proses produksinya lalu mengunggahnya ke TikTok. Video yang sederhana yang dilakukan karena iseng ternyata membuahkan hasil.
Seketika kontennya mendapatkan sambutan hangat dari warga Tiktok. Respons positif itu memicu keberaniannya untuk terus berbagi.
Dari satu video ke video berikutnya, followers bertambah, begitu juga pesanan. Dari rumah-rumah tetangga, kini Rahmi mengirim ue neulheu ke Bekasi, Bogor, bahkan luar Sumatra.
Respons yang mengalir deras membuat Rahmi sadar, yang selama ini dianggap kuno, ternyata bisa jadi tren. Ia pun makin giat produksi. Bahkan saat Ramadan dan meugang, pesanan meledak hingga 300 kilogram per hari.
Selama ini, kelapa asal Lhokseumawe jadi pemasok langsung ke rumahnya. Sekali datang bisa satu ton untuk tiga hari produksi.
Pagi, ia dan suami mulai kukur. Siang mulai menyangrai. Malam bungkus dan kirim. Tak jarang harus lembur sampai tengah malam.
“Pas hujan, kelapa susah kering. Saya pakai oven. Jadi bisa produksi tap hari,” ucapnya.
Ia menjual ue neulheu dalam berbagai kemasan. Untuk berat 6 gram dijual seharga Rp5.000 sedangkan 1 kilogram dijual Rp45.000. Rahmi juga mulai menambah variasi produk dan terus memperbaiki kemasan untuk menjaga kualitas dan estetika.
“Kalau menggunakan cup itu untuk dikirim ke lokasi jauh, biar lebih aman,” katanya.
Rahmi menyebut ue neulheu miliknya rutin dipasok di pasar-pasar yang ada di di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Bahkan biasanya juga dipesan oleh usaha warung makan di wilayah itu.
Dari jerih payahnya itu, kini Rahmi bisa meraih omzet hingga Rp40 juta per bulan. Tapi bagi dia, lebih dari sekadar angka, adalah kebanggaan bisa menghidupi dirinya, keluarganya, dan memberdayakan ibu-ibu di sekitar rumah.
“Kalau pesanan banyak, saya ajak dua orang tetangga untuk bantu,” ujarnya.
Meski baru seumur jagung, Rahmi menaruh harapan besar untuk usahanya. Ia menargetkan agar usahanya ini dikenal oleh seluruh masyarakat Aceh.
“Engga muluk-muluk. Saya cuma ingin ue neulheu ini dikirim hingga seluruh Aceh, dan rumah-rumah makan di sini dapat ambil di saya,” pungkasya.