MASAKINI.CO – Lonjakan harga beras yang terjadi belakangan ini di Aceh dinilai bukan semata akibat meningkatnya permintaan, melainkan karena terganggunya pasokan di tingkat produsen.
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala, Rustam Effendi, kondisi ini dapat berdampak serius terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat kecil.
“Masalah utama bukan karena demand (permintaan) meningkat, tetapi karena suplai yang terganggu. Akibatnya harga naik dan itu langsung memukul daya beli masyarakat,” kata Rustam kepada Masakini.co, Rabu (30/7/2025).
Situasi ini, kata Rustam, berpotensi mendorong inflasi dan memperparah tingkat kemiskinan. Sebab, beras merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda. Jika harga naik, masyarakat akan tetap membeli beras, namun dengan mengorbankan kebutuhan lainnya.
“Inflasi akan naik karena beras merupakan salah satu komponen utama dalam perhitungan inflasi. Ini sangat berisiko terutama bagi mereka yang berada di garis kemiskinan. Yang tadinya hampir miskin, bisa benar-benar jatuh miskin,” tegasnya.
Rustam mengapresiasi langkah Pemerintah Aceh yang telah bekerja sama dengan Bulog dalam menyediakan beras murah melalui operasi pasar. Namun, ia menekankan bahwa solusi jangka pendek ini tidak bisa terus-menerus diandalkan.
“Operasi pasar penting, tapi itu bukan solusi jangka panjang. Ini hanya langkah antisipatif. Pemerintah harus segera memperkuat sektor produksi dalam negeri, terutama di Aceh, melalui bauran kebijakan,” jelasnya.
Ia mendorong Pemerintah Aceh untuk fokus membangun sistim irigasi agar produktivitas lahan pertanian meningkat. Aceh memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Namun, belum termanfaatkan dengan maksimal. Masih banyak lahan terlantar. Jika semua lahan dimanfaatkan dan didukung aliran air irigasi yang mencukupi dan merata pasti hasil panen berupa gabah akan melimpah.
“Masih banyak lahan pertanian kita yang tadah hujan. Itu harus diatasi dengan sistem irigasi yang layak. Ini yang perlu difokuskan Pemerintah Aceh sekarang,” ujar Rustam.
Rustam juga menyoroti praktik alih fungsi lahan produktif yang begitu masif. Banyak lahan yang berubah fungsi menjadi kawasan perumahan atau pertokoan. Ini terus terjadi di Aceh tanpa ada yang mampu mencegahnya. Jika lahan persawahan terus dialih fungsikan dikhawatirkan produksi padi di Aceh makin menurun. Akan dapat mengancam ketahanan pangan Aceh dan juga nasional. Imbasnya akan berujung harga beras mahal dan ketergantungan pada impor semakin tinggi.
“Ini sangat merugikan. Sawah yang masih bagus jangan sampai berubah jadi perumahan atau ruko. Ini tanggung jawab semua pihak,” tegasnya.
Selain meningkatkan kapasitas produksi, Rustam juga mendorong agar gabah hasil panen diolah terlebih dahulu di daerah kita, bukan dijual keluar provinsi. Untuk itu, mereka juga harus diperkuat, termasuk pemberian akses pembiayaan perbankan kepada pelaku usaha kilang padi ini.
“Kita ini lucu. Gabah dijual ke Medan. Lalu, kita beli beras hasil olahan gabah dari daerah kita sendiri. Harusnya kilang-kilang padi di Aceh dapat berperan lebih dalam proses ini,” kata ekonom ini.
Rustam meyakini, jika produksi lokal ditingkatkan dan dikelola dengan baik, Aceh sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. “Kuncinya ada pada kemauan dan komitmen pemerintah. Bangun dan benahi infrastruktur pertanian dan kendalikan distribusi hasil panen. Jangan biarkan pasar berjalan tanpa kontrol. Awasi pasar agar tidak terjadi perilaku buruk oleh para spekulan,” pungkasnya.