MASAKINI.CO – Museum Samudra Pasai sunyi. Saya ke kompleks makam. Di sini, tiga pria duduk bersila. Mereka membaca Yasin.
Di balik pagar besi, seorang pria paruh baya mengamati saya saat meninggalkan museum beberapa meter dari makam.
Pria berpeci putih yang duduk di tangga itu, ternyata Ahmad Yus. Ia penjaga makam Raja Islam pertama di Nusantara, Meurah Silu.
Hampir 40 tahun Ahmad menjaga makam raja tersohor dengan julukan Malik Al-Saleh ini. Sejumlah negara di Asia Tenggara sempat mengundangnya.
Ia diminta berbagi sejarah Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan Meurah Silu pada 1267 M atau sekitar abad 13.

Saya beruntung bertemu Ahmad, apa lagi di kompleks bekas kerajaan. Ia berbagi cerita yang disimpan rapi dalam ingatannya.
“Kalau yang ini makam siapa?” tanya saya, sembari melihat ke arah batu-batu nisan di kanan makam Malik Al-Saleh.
“Itu makam para prajurit Majapahit yang kalah perang!”
Ia melanjutkan, “di depan sana ada banyak lagi makam. Ada yang panjang, ada yang pendek.”
Lantunan Surat Yasin sayup-sayup masih terdengar, saat memberitahukan bahwa saya masih berstatus mahasiswa.

“Ooh! Besok kalau kemari ajak kawan yang rame, biar saya jelaskan sejarah. Dan jangan lupa siapkan pertanyaan yang banyak. Insya Allah saya akan menjawab,” katanya.
Mendengar itu, saya kembali mengajukan pertanyaan.
“Apa bedanya Pasee dan Pasai?” tanya saya mencoba memecah keheningan.
“Pasee itu wilayah dalam kerajaan, kalau Pasai itu pasar.”
“Jadi Samudra Pasai, seharusnya Samudra Pasee?
“Iya, Pasee pakek titik di atasnya-Pasee’!”
***
Kamis 16 Januari 2020 itu, saya hendak berkunjung ke Museum Islam Samudra Pasai yang diresmikan Pemerintah Aceh Utara pada 9 Juli 2019.
Sepeda motor yang saya kendarai mendekati jembatan di Pasar Geudong, Kecamatan Samudra. Lalu belok kiri setelah melihat tembok gapura bercat krem.

Saya kurang yakin dan bertanya pada seorang pria tua duduk dekat gapura itu. “Ini jalan mau ke Museum Samudra Pasai kan?”
“Iya, ikutin jalan terus, nanti nampak tembok seperti ini,” katanya sambil menunjuk gapura itu.
Rumah-rumah dan persawahan menghiasi sepanjang perjalanan. Saya menangkap aroma berbeda dari jalan raya. Angin sepoi-sepoi yang lewat dari pepohonan mulai terasa meskipun matahari begitu terik.
Ratusan meter dari gapura tadi, saya melihat persegi panjang menjulang dan di bagian atasnya seperti kubah dari kejauhan—belakangan saya tahu itu monumen Kerajaan Samudra Pasee’.
Kini, saya tiba pada sebuah tikungan. Ada jalan tak beraspal tepat di sebelah kanan tikungan itu. Di sini saya mulai bingung. Tapi, di depan sana ada gapura bertulis kaligrafi. Saya semakin bingung, di mana Museum Samudra Pasai?

Saya bertanya dengan seorang ibu yang sedang membungkus jualannya.
“Di sana, masuk lorong yang belum di aspal itu.”
Museum itu sepi. Hanya ada dua wanita di halaman depan. Awalnya, saya kira mereka petugas museum, tapi kami sama-sama pengunjung.
Saya masuk ke lobi dan menjumpai seorang pria sibuk dengan gawainya di meja resepsionis.
“Masih buka, Bang?” tanya saya.
“Jam 16.00 nanti tutup.”

Saya mulai berkeliling museum. Ada denah bangunan di bagian depan. Poster-poster para penjelajah yang berkunjung ke wilayah ini ditampilkan, seperti Marcopolo, Odorico da Pordenone, Ibnu Batutah dan Cheng Ho.
Beberapa langkah kemudian kita akan melihat replika menara pasai, naskah kuno, koin dirham, alat dapur, pedang dan perhiasan-perhiasan pada masa itu.
Sekitar lima belas menit saya habis berkeliling museum ini dan kembali melempar pertanyaan pada pria yang sibuk dengan gawainya.
“Di atas ada apa?”
“Gak ada apa-apa, cuma replika rumah Aceh.”

Saya menaiki anak tangga dan melihat kesunyian yang sama dari lantai dasar, di sini lebih sunyi.
Miniatur rumah Aceh itu terletak manis di tengah ruangan. Selepas itu, saya bergegas turun, melempar senyum ke arah pria itu, kemudian berlalu.
***
Masih ingat dengan persegi panjang menjulang dan benda seperti kubah di atasnya? Kini saya berada di bagunan itu setelah menerima karcis parkir berharga tiga ribu rupiah. Ini adalah monumen Kerajaan Samudra Pasai.

Bagunan ini belum selesai dibangun. Kayu-kayu dan sisa beton masih berserakan. Namun, terlihat beberapa muda-mudi berkunjung dan berswafoto di sini. Memang, bagunan ini terlihat indah dan seperti sebuah kerajaan.
Saya berkeliling dan mendapati para pekerja di setiap sudut. Sebagian mereka berbicara dalam bahasa yang tidak saya ketahui. Saya mulai menyimak pelan-pelan. Ternyata itu Bahasa Jawa.
“Kapan siap bagunan ini?” tanya saya pada seorang pekerja yang sedang lewat di depan saya.
“Gak tau, bertahap sepertinya.”[Adli Dzil Ikram]
Discussion about this post