Bersama Petani, Dora Menjaga Gerabah Tetap Lestari

Produk gerabah buatan Gramida.(foto untuk masakini.co)

Bagikan

Bersama Petani, Dora Menjaga Gerabah Tetap Lestari

Produk gerabah buatan Gramida.(foto untuk masakini.co)

MASAKINI.CO – Tanah liat disulap jadi produk bernilai jual di tangan Zuhra Asra. Perempuan yang akrab disapa Dora ini menghasilkan beragam perkakas masak maupun home decor.

“Kami ada belanga, kanot (periuk nasi), mangkok, vas bunga, tabungan dan lainnya,” kata Dora mengawali pembicaraannya beberapa waktu lalu.

Ratusan gerabah dengan berbagai ukuran, kecil, sedang dan besar memenuhi ruangan yang dulunya kamar Dora. Ia menata rapi karyanya di rak kayu.

Kemampuan Dora terus diasah, ia kembali menciptakan benda-benda unik seperti souvenir. “Jadi kami juga menerima pesanan souvenir wedding,” sebutnya.

Gerabah milik Dora ramai diminati warga. Saban hari pembeli datang ke tempat produksinya di Ulee Tutue Keulibeut, Pidie.

Bisnis gerabahnya dirintis secara online, berawal dari usaha jual bibit tanaman. Kepada masakini.co, Dora menceritakan bagaimana perjalanan menciptakan karya di tengah pandemi Covid-19.

“Mulainya di tahun 2020, tetapi mulai serius dijalani tahun 2021,” ucapnya.

Budidaya tanaman kala itu menjadi tren di lingkungan tempat tinggalnya. Tak mau ketinggal ia pun turut mempromosikan tanaman hias di laman marketplace yang diberi nama marketbibit.

“Ketika masa pandemi, saya perhatikan banyak orang berkegiatan di rumah sembari merawat tanaman,” kata Dora.

Langkah perdananya tak mujur, usahanya tak berlangsung lama. Lantas, ia banting stir membuat pot bunga dari gerabah.

Zuhra Asra pendiri Gramida

Daerah tempat tinggal Dora, Pidie merupakan sentra pembuatan gerabah yang hampir ditelan zaman. Dahulu gerabah di sana hanya berbentuk kuali dan panci.

Kini, keterampilan pembuatan gerabah itu tetap lestari, diturunkan dari generasi ke generasi. “Ini telah menjadi turun temurun dari keluarga, ibu juga dulu pengrajin gerabah,” ungkap Dora.

Di Desa Keulibeut, kata Dora terdapat 16 pengrajin tanah liat, dua diantaranya anak muda. Menggunakan jasa masyarakat sekitar, Dora menjual gerabah unik secara offline maupun online.

Awalnya, kata dia, Dora menamakan galerinya “Rumoh Geurabah,” lantaran tak dapat didaftarkan ke Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ia beralih ke “Gramida.”

Dengan nama Gramida, Dora mengupgrade skill nya dan menghasilkan produk yang lebih berwarna. Berkat bantuan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pidie Dora mempelajari bagaimana mengukir corak di gerabah yang dibuatnya.

Wanita 32 tahun ini membuat produk gerabah sesuai dengan permintaan pasar. Untuk saat ini, permintaan gerabah yang laris vas bunga dan kuali tanah (beulangong tanoh).

Untuk membuat gerabah, Dora membutuhkan bahan baku utama berupa tanah liat. Namun, tak sembarang tanah liat, melainkan tanah liat berwarna merah agar proses pembuatannya jauh lebih mudah dan bagus.

“Tapi jika tidak ada bisa pakai tanah liat lain, asalkan tanah liat,” tuturnya.

Pemenuhan kebutuhan tanah liat merah benar-benar dijaga pengrajin sehingga gerabah dari Gramida dikenal dengan kualitasnya yang bagus.

Dora memperoleh tanah liat langsung diambil dari pegunungan. Hanya saja harus membayar jasa pengambil tanah serta biaya transportasi.

Produk gerabah buatan Gramida.(foto untuk masakini.co)

Meskipun proses pembuatan masih secara tradisional, setiap pengrajin mampu menghasilkan 20 produk perkakas masak saban harinya. Namun ia mengaku kecepatan proses pembuatan tergantung cuaca.

“Pertama kita aduk tanah dengan pasir, lalu dibentuk sesuai keinginan, paling cepat 10 hari,” sebutnya.

Selama ini Dora masih menggunakan secara manual, yakni dengan metode pembakaran menggunakan daun kering. Setelah itu dilanjutkan proses pengeringan. Proses pengeringan sendiri membutuhkan waktu.

Nah kendala yang dia hadapi cuaca yang tak menentu. Jika sering hujan, maka akan mengganggu produksi gerabah.

“Terakhir baru dilakukan pengecatan, agar produk jauh lebih bagus,” katanya.

Tiga tahun berjalan, gerabah milik Dora makin digemari konsumen. Akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan galery gerabah di halaman rumahnya. Dora terus mengepakkan sayapnya dengan mempromosikan melalui istagram @gramida.id.

Tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, produk buatan Dora ini hanya dibanderol mulai Rp4 ribu hingga Rp500 ribu per item.

Daya jangkau pemasaran Gramida saat ini sudah dilakukan di seluruh kabupaten di Aceh, dan bahkan telah dikenal hingga keluar Aceh. “Misalnya seperti wilayah Medan,” sebut Dora.

Kebahagiaan Dora dirasakannya saat ada permintaan konsumen yang mengorder dalam jumlah besar. Kendati demikian ia memiliki kendala terhadap waktu penyelesaian.

“Karena di samping membuat gerabah, ibu-ibu juga bermata pencaharian petani,” imbuhnya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist