Mak Leumang Menjaga Tradisi, Lezat dan Cuan

Proses pembuatan leumang di Desa Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh | Riska Zulfira/masakini.co

Bagikan

Mak Leumang Menjaga Tradisi, Lezat dan Cuan

Proses pembuatan leumang di Desa Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh | Riska Zulfira/masakini.co

MASAKINI.CO – Hafsah Abbas (75 tahun) berbaring di pondok mini yang dihadang dinding beton perbatasan jalan.

Peluh membasahi wajahnya. Ia kelelahan setelah potong daun pisang yang kemudian dimasukkan ke dalam bambu.

Di usianya yang telah renta, Hafsah masih tetap lincah menyusun beras ketan ke dalam bambu yang telah dialasi daun pisang itu. Panjangnya hampir semeter.

Mak Leumang, begitulah nama gerai sederhananya. Dia merupakan pembuat dan pedagang leumang sudah seperempat abad.

“Saya mulainya sejak tahun 2000, sebelum tsunami,” kata Hafsah, Sabtu (8/3/2025).

Ia ingat betul awal mula usahanya. Hafsah menjalankan tradisi yang diwarisi sang nenek. Ia merupakan generasi ketiga dari keluarganya.

“Awalnya coba-coba. Pas meugang saya bakar, eh laku habis, besoknya malah ketagihan,” kenangnya.

Leumang penganan khas Aceh berbahan dasar ketan hitam, ketan putih, atau ubi selalu menjadi incaran untuk berbuka puasa.

“Dulu cuma bulan puasa saja, tapi udah berapa tahun ini, tiap hari jualan leumang,” tuturnya.

Matanya berair dikepung asap. Tapi tak menyurut semangat dirinya dalam berdagang. Di pinggir jalan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh, di situ dirinya mangkal sejak 25 tahun lalu.

Hafsah Abbas (75 tahun), pedagang Leumang di Banda Aceh. I foto: Riska Zulfira/masakini.co

Di belakang pondok yang beratapkan terpal, ia memanfaatkan sebidang tanah untuk membakar puluhan batang bambu leumang.

Bambu diletakkan berderet di kawat besi yang sudah dipasang melintang. Uap panas itu akan membakar bambu lemang.

Memasuki bulan Ramadan permintaan meningkat. Ia lantas minta dibantu 10 orang sanak saudara.

Sejak sepekan terakhir, produksinya meningkat tajam. lonjakan permintaan membuatnya harus menyiapkan hingga 40-50 bambu atau setara tiga karung ketan per harinya.

“Kalau hari biasa hanya 5-7 tujuh bambu. Kalau musim durian tambah satu bambu,” kata dia.

Baginya, leumang tak sekadar makanan. Ia menjadi warisan, tradisi, dan simbol kebersamaan.

Apalagi makanan ini hadir saat perayaan Maulid Nabi, terutama di wilayah Aceh bagian barat. Tak heran, leumang yang dibuat Hafsah tak hanya diminati warga Banda Aceh, tapi juga dipesan oleh masyarakat Meulaboh, Pidie dan kabupaten lain untuk perayaan Lebaran.

“Banyak yang pesan di kita, orang Pidie, Aceh Utara, Meulaboh dan daerah bagian barat lainnya,” jelas Hafsah.

Proses Panjang di Balik Sebatang Leumang

Banyak yang mengira membuat leumang hanya soal mencampur ketan dan santan lalu membakarnya, padahal ada teknik tersendiri.

Menurut Hafsah, bambu yang digunakan untuk leumang haruslah bambu yang memiliki ketebalan dan tekstur yang pas.

Hafsah sendiri mencari bambu hingga ke Gunung Sigli. Bambu yang didapat di sana dia bawa pulang ke Banda Aceh.

Tak tanggung-tanggung ia membeli bambu hingga satu truk atau sekitar 300 batang bambu dengan harga satu batangnya Rp30 ribu.

“Lebih kurang Rp4 juta sekali bawa bambu. Dalam sebulan ada dua kali,” beber Hafsah.

Selama ini, Hafsah telah berupaya mencari bambu di wilayah Aceh Besar. Namun sayangnya bambu yang ia dapat tak sesuai untuk pembuatan leumang.

Selain itu, untuk memasak leumang, butuh ketelatenan dan kesabaran. Api harus dijaga dengan cermat, dari ujung ke ujung, agar kematangan merata dan aroma khasnya keluar sempurna.

“Kita mulai masak dari jam 8 pagi, biasanya jam 12 sudah matang,” sebutnya.

Saat Asar barulah leumang dijual. Di luar Ramadan, ia juga mulai berjualan sore hari.

Untuk harganya sendiri bervariasi, tergantung ukuran bambu. Satu batang dijual mulai Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Untuk yang dijual eceran, tersedia potongan seharga Rp10 ribu dan Rp20 ribu.

Sayangnya, kenaikan harga bahan baku, dari gula hingga kelapa, membuat harga jual leumang ikut meningkat.

“Banyak yang protes kok naik, padahal memang bahan mahal,” kata Hafsah.

“Padahal itu tetap masih murah kami jual, harapannya ekonomi masyarakat jadi lebih stabil,” harapnya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist