Mencabut Akar Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Aceh

BPPA menggelar webinar terkait tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh, Kamis 31/3/2022. (foto: BPPA)

Bagikan

Mencabut Akar Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Aceh

BPPA menggelar webinar terkait tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh, Kamis 31/3/2022. (foto: BPPA)

MASAKINI.CO – Tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh belakangan ini, sejumlah pihak diajak saling bekerja sama melakukan pengawasan demi mencabut akar kekerasan tersebut.

Hal itu mengemuka dalam diskusi webinar bulanan yang digelar Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) dengan tema “Upaya Pengentasan Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan di Provinsi Aceh”, pada Kamis (31/3/2022).

“Ini merupakan kewajiban kita bersama dalam mengawasi setiap ada kekerasan seksual baik terhadap perempuan maupun anak,” kata Kepala BPPA Almuniza Kamal, diwakili salah staf BPPA Rifky Zakaria.

Menurutnya, perlu dilakukan sosialisasi baik itu oleh pemerintah, LSM, serta masyarakat yang mengerti terkait dengan hal kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh (DP3A) Nevi Ariyanti, mengatakan untuk menurunkan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak memang merupakan salah satu arahan Presiden RI. “Karena masuk kedalam urusan pemberdayaan perempuan dan masuk dalam urusan perlindungan khusus anak,” katanya.

Nevi menyebut, meskipun dalam laporan yang DP3A terima angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami penurunan dari tahun 2017-2022, namun ada kemungkinan cenderung naik karena dinilai banyak yang tidak melaporkan.

“Kami meyakini kasus yang tidak dilaporkan banyak, karena budaya kita banyak pertimbangan salah satunya budaya malu,” sebutnya.

Pihaknya berharap masyarakat tak perlu malu melaporkan kasus-kasus tersebut, apalagi kasus dengan bermain fisik yang dinilai wajib dilaporkan. Sehingga disarankan melapor melalui pusat pelayanan lembaga (Puspaga).

Selain itu, Nevi mengharapkan dalam pengurusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satunya meningkatkan pemahaman pemerintah aparat penegak hukum, serta masyarakat tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Korban kekerasan juga perlu mendapat perlindungan khusus dan perlu dipenuhi hak-haknya,” jelasnya.

Hal serupa disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor. Dia mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak 2012 hingga sekarang.

“Tapi kasusnya menurun pada tahun 2020. Bukan tidak berarti kekerasan terhadap perempuan berkurang, karena ini diawal-awal masa pandemi Covid-19, kita ketahui banyak lembaga layanan tutup,” katanya.

Sehingga, tambahnya, pada saat itu Komnas Perempuan mengalihkan dengan membuka layanannya secara online, yang kemudian di tahun kedua pandemi akses pelaporan mulai dikenali publik.

“Karena hampir semua tempat pengaduan sekarang menggunakan dua sistem, yakni online dan offline,” sebutnya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist