MASAKINI.CO – Atlet dan offisial Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut 2024 yang berlaga Aceh mengaku terkesan dengan toleransi dan keramahan warga di daerah berjuluk Serambi Mekah itu.
Marthen Bana, Wakil Ketua Bidang Humas dan Media KONI NTT mengatakan, dirinya baru pertama kali datang ke Aceh.
Sebelumnya, Marthen mengaku, jika bisa ia lebih memilih ke Medan daripada ke Aceh karena alasan takut berbuat salah di Aceh yang menerapkan hukum Syariat Islam.
Namun, begitu mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, ia mendapat kesan positif.
Dia menceritakan saat keluar dari ruang kedatangan bandara, Marthen dihampiri seorang bapak-bapak yang rupanya sopir taksi.
“Beliau menanyakan saya dari mana, mau ke mana dengan begitu ramah. Lalu begitu tiba di penginapan, ada koran yang judulnya Pemulia Jamee yang artinya saatnya memuliakan tamu. Dari sini saya teringat ketika di bandara tadi, bahwa yang saya rasakan itu adalah memuliakan tamu,” ungkap Marthen, Jumat (20/9/2024).
Setelah beberapa hari di di Aceh lanjut Marthen, ketika berinteraksi dengan masyarakat lokal, budaya Pemulia Jamee itu benar-benar terasa. Masyarakat Aceh juga begitu toleran terhadap tamu yang datang.
“Terima kasih Aceh, saya benar-benar betah berada di Aceh,” ucap Marthen.
Selain Marthen, Wakil Ketua Umum (Waketum) KONI Papua Tengah Cesar Avianto mengaku punya kesan tersendiri tentang Aceh.
Menurutnya, ketika Papua menjadi tuan rumah PON XX pada 2021 lalu, ia banyak berinteraksi dan membantu kontingen Aceh yang datang ke Papua. Sebaliknya, begitu kontingen Papua Tengah tiba di Aceh, mereka mendapatkan pelayanan yang begitu baik dari tuan rumah.
“Bagi saya, meskipun Aceh ini menerapkan Syariat Islam, atlet-atlet putri diberi kebebasan untuk bisa bertanding sesuai dengan apa yang mereka mau, tidak terikat dengan aturan-aturan yang ada. Itu bagian dari bentuk toleransi yang diberikan oleh Aceh sebagai tuan rumah,” ungkap Cesar.
Hal senada juga disampaikan I Nyoman Bagus Bhaskara Daneswara, atlet dayung dari Bali. Dia mengaku awalnya canggung dan takut untuk berinteraksi dengan masyarakat Aceh.
Ia takut berbuat salah karena adanya penerapan Syariat Islam di Aceh. Namun seiring berjalannya waktu, Bhaskara merasa bahwa orang-orang Aceh itu asyik dan terbuka, dan ia pun terdorong menjadi terbuka.
“Waktu saya jalan-jalan di lapangan Blang Padang, saya bertemu orang-orang, kita ngobrol, wah asyik. Warga Aceh terbuka menerima kami, dan saya pun akhirnya nyaman, dan merasa kayak di rumah saja. Jadi untuk toleransinya wow, luar biasa,” kata Bhaskara.