MASAKINI.CO – Magrib baru saja usai. Muhammad Safri duduk bersila di ruang tamu rumahnya, Pante Gajah, Matangglumpangdua, Bireuen. Ia menatap laptop, membuka google drive, Jumat (27/9/2024).
Dipandangnya berlahan foto-foto perjalanan tim sepakbola PON Aceh. Sementara istrinya, Auny Caramina dengan senjaga memotret aktifitas sang suami.
“Sampai sekarang, setiap harinya masih sering lihat-lihat foto anak-anak PON Aceh,” aku Safri.
Pemilik nama masyhur Pampum ini, merupakan fotografer tim sepakbola Aceh pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh Sumut 2024. Nyaris seminggu sudah ia tiba di kampung halaman, usai menunaikan tugas di Banda Aceh.
Baginya, bisa menjadi bagian dari tim sepakbola PON Aceh adalah anugerah berarti. Sebab, baru kali itu ia mencicipi kompetisi besar sepakbola resmi kaliber nasional. Sebelum PON, Pampum wara-wiri dari tarkam ke tarkam.
“Senang sekali bisa membersamai perjalanan tim PON Aceh. Sejak awal, saya tidak bertanya soal bayaran. Karena ini momen berharga. Apalagi kita tidak tau, kapan Aceh bisa kembali jadi tuan rumah,” sebutnya.
Kali terakhir pria kelahiran 1991 ini mengabadikan perjalan tim sepakbola PON Aceh, ketika memastikan medali perunggu di Stadion Harapan Bangsa (SHB), Lhong Raya. Aceh menang atas Kalimantan Selatan (Kalsel). Hingga prosesi pengalungan medali, Rabu (18/9/2024).
Kebersamaan selama sebulan bersama tim, diakui Pampum, kerap mengetuk rindu. Itulah mengapa, sampai kini, saban harinya Pampum masih membuka arsip foto.
“Sesekali saya upload di akun instagram saya @pampum.football. Baik di feed maupun story,” ujarnya.
Awal Mula
Ia mengaku tidak ingat persis, bagaimana bergabung dengan tim. Yang pasti, sebelum Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda), di sebuah tarkam, Pampum bertemu dengan Mukhlis Rasyid (MR), tim pelatih PON Aceh.
“Saya iseng saja. Saya kemana ini coach? Dan dijawab, ke PON-lah. Coach MR sambil bercanda juga,” kenangnya.
Waktu berlalu. Pampum bertolak ke Kabupaten Pidie, tempat PON Aceh menjalani Pelatda, Minggu (21/7/2024).
Ia berangkat dengan Yasvani, mantan penggawa PON Aceh 2021, yang di hari tersebut bermain tarkam di Kembang Tanjong.
“Kebetulan, dua hari setelah itu kan ada uji coba PON Aceh 2021 vs PON Aceh 2024. Jadi sekalian berangkat saja, saya pikir,” jelasnya.
Usai tarkam di Kembang Tanjong, Pampum yang juga ketiban rezeki memotret. Tak langsung kembali ke Matangglumpangdua. Namun menginap di Hotel Safira, Sigli bersama tim PON Aceh. Memotret latihan pagi, hingga uji coba antar PON beda generasi. Setelahnya, ia kembali ke Matangglumpangdua.
Bergabung Full Time
Sebulan setelahnya, barulah Pampum benar-benar bergabung full time. Ketika tim sepakbola PON Aceh sudah pindah Pelatda ke Banda Aceh. Tercatat, tanggal 20 Agustus 2024 ia tiba di Asrama Haji, penginapan awal tim sepakbola PON Aceh. Sebelum pindah ke Hotel Mekkah.
Momen tersebut sudah ia nanti-nanti. Sebagai wujud serius, untuk pertama kalinya, Pampum menggunakan lensa baru, untuk membidik setiap momen latihan, tanding dan kegiatan lain tim sepakbola PON Aceh.
“Lensa baru saya jenis sigma 150-500mm f/5 – 6.5. Saya beli second di online shop. Sekitar Rp8 jutaan lebih sedikit,” ungkapnya.
Tidak hanya itu. Sebagai perkakas kerja, Pampum tetap membawa dua lensa lain yang sudah duluan ada. Seperti sigma 35mm f/1.4, dan nikon 80-200mm f/2.8
Lewat kamera Nikon D70, fotografer penggemar Manchester United itu membidik ribuan momen perjalanan tim sepakbola PON Aceh. Total, ada 60 Gb file foto yang ia abadikan.
“Jumlah lembarnya, saya tidak hitung. Tapi ada empat email yang harus dibuat untuk keperluan google drive penyimpanan foto. Per email, kapasitas tampungya kurang lebih 15 gb. Foto terbanyak itu 700-an, laga perdana Aceh vs Banten,” urainya.
Pampum vs Steward
Di balik kegembiraan menjadi penyalin cahaya, dengan foto yang diikhtiarkan terbaik. Pampum bukan tanpa ujian. Laga Aceh versus Sulawesi Tengah (Sulteng) yang dianggap kontroversi, menyisakan geram memdalam bagi Pampum tersendiri.
Di babak kedua, ketika ia sedang mengabadikan foto sejumlah pemain cadangan melakukan pemanasan. Seorang steward menegurnya di depan khalayak. Pasalnya satu, Pampum menggunakan celana pendek.
“Saya tersinggung karena tidak disampaikan baik-baik. Main tunjuk di depan orang ramai. Dan alasannya, syariat Islam,” ketusnya.
Malam itu, Pampum menggunakan kaos kerah berwarna biru laut, dengan celana pendek abu-abu. Sebelum bertolak ke Stadion H Dimurthala, Lampineueng. Cuaca di langit Kota Banda Aceh sendu. Sempat hujan.
“Itu celana Muhajir saya pinjam. Karena hujan, biar lebih leluasa. Saya tidak membantah soal syariat Islam. Tapi kenapa cuma saya? Sedangkan pemain dua kesebelasan celana bolanya pendek, tanpa penutup lutut juga,” urainya.
“Bahkan saya sempat berpikir, apakah steward itu caper saja? Aneh,” sambungnya.
Laga baru saja usai, untuk kemenangan Aceh karena Sulteng tidak melanjutkan pertandingan. Aceh menang WO, dan dipastikan melanggeng ke babak semifinal. Pampum baru saja tiba di ruang ganti tim sepakbola PON Aceh.
Tiba-tiba steward yang menegurnya di jeda babak pertama tadi, masuk. Hanya untuk menegur Pampum kembali. Tangan Pampum dipegang, dengan gelagat hendak ditarik keluar.
Emosi Pampum sudah diubun-ubun. Gurat amarah kentara dari wajahnya. Namun tiga pemain langsung merangkul badan Pampum. Menenangkannya. Minipot kameranya diamankan Muhajir. Meminimalisir hal-hal tidak diinginkan.
“Bang Manto (pelatih kiper) sempat maju ke hadapan steward dengan mengatakan: apa urusan mu. Saya tidak bisa pastikan apa yang terjadi, andai tak ditenangkan. Karena di looker room saat kejadian, ada juga polisi yang pangkatnya lumanyan, Ketua dan Sekum PSSI Aceh,” bebernya.
Air Mata Fotografer
Pampum tak bebal. Dengan segala pertimbangan, laga selanjutnya vs Jawa Timur (Jatim) di semifinal. Ia tak lagi menggunakan celana pendek. Ketenangan tim adalah keniscayaan. Dan menurutnya, kejadian celana pendek hanya karena dua hal, hujan dan cara tegur yang salah.
Semifinal menukilkan perih tersendiri bagi tim sepakbola PON Aceh. Kalah dari Jatim dengan skor 2-3. Namun untuk Pampum, sedihnya menjadi-jadi. Usai laga, ia masuk masuk ke ruang ganti. Ia menemui Refyanshah, yang meringkuk di balik lemari jersey.
Tanganya memeluk Refy, begitu gelandang tersebut dipanggil. Erat rangkulannya. Pampum bersimpati, karena malam itu, Refy ‘mandi lebih dulu’. Karena kartu merah. Sejurus kemudian, Pampum bersandar di lemari. Air matanya tumpah.
Tanpa berbicara. Pampum duduk di lantai. Matanya masih sembab. Tak ada yang berani memulai pembicaraan. Ia membuka gawai, meredakan sedih dengan mengecek lalu lintas Instagram. Tiba-tiba Pj Gubernur Aceh datang ke ruang ganti, untuk memberikan bonus. Membangunkan Pampum dari lamunan, dan bergabung dengn tim kembali.
“Saya menangis karena Refy nggak bisa main ke depan, dan sayang saya lihat tim,” kenangnya dalam Bahasa Aceh.