Agar Budaya, Pariwisata, dan Ekraf Aceh Terarah, SUKAT Dukung Peleburan Disbudpar

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf saat bertemu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya di Jakarta, Kamis 10/4/2025. (foto: Adpim Aceh)

Bagikan

Agar Budaya, Pariwisata, dan Ekraf Aceh Terarah, SUKAT Dukung Peleburan Disbudpar

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf saat bertemu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya di Jakarta, Kamis 10/4/2025. (foto: Adpim Aceh)

MASAKINI.CO – Suara untuk Kebudayaan Aceh Terarah (SUKAT) mendukung rencana Pemerintah Aceh meleburkan fungsi kelembagaan yang selama ini terpusat di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh.

Gagasan pembentukan Badan atau Dinas Ekonomi Kreatif dinilai penting untuk menata ulang arah kebijakan kebudayaan, pariwisata, dan ekonomi kreatif di Aceh agar lebih sehat dan terfokus.

Terlebih, Aceh telah ditetapkan sebagai satu dari 15 provinsi prioritas pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia.

SUKAT mengapresiasi langkah cepat Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang memerintahkan pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif usai bertemu dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Teuku Riefky Harsya dua hari lalu di Jakarta.

“Sudah saatnya Aceh tidak lagi menumpuk tiga urusan besar dalam satu dinas. Kebudayaan, pariwisata, dan ekonomi kreatif harus dikelola secara fokus dan berkesinambungan,” kata Iskandar Tungang, Koordinator SUKAT, Sabtu (12/4/2025).

Mengacu pada struktur kementerian di tingkat nasional, SUKAT mendorong pembentukan tiga dinas terpisah, yaitu Dinas Kebudayaan dengan fokus pada pelestarian, pengembangan, dan pembinaan warisan budaya, baik benda maupun tak benda.

Kedua, Dinas Pariwisata yang bertugas mengembangkan destinasi secara berkelanjutan tanpa mengorbankan nilai-nilai lokal.

Kemudian Dinas Ekonomi Kreatif yang difokuskan pada penguatan ekosistem produksi kreatif dari akar komunitas, bukan pada event-event seremonial dan proyek jangka pendek.

Iskandar menuturkan, pihaknya menilai selama ini kebijakan kebudayaan di Aceh kerap eksklusif, berbasis pada pencapaian kasar yakni angka semata, serta kurang melibatkan pelaku budaya secara bermakna.

Di sisi lain, pariwisata acap kali tampil sebagai sektor dominan yang justru mengancam substansi budaya lokal.

“Pariwisata tidak boleh menjadi predator atas budaya, dan ekonomi kreatif harus bertumbuh dari komunitas, bukan dari panggung proyek,” ujarnya.

Dia menegaskan pemisahan struktur kelembagaan ini harus pula diiringi dengan perubahan paradigma dalam pengambilan kebijakan. Jika tidak, pembentukan dinas-dinas baru hanya akan menjadi agenda administratif tanpa dampak nyata bagi pelaku budaya.

Sebagai forum yang terdiri dari pelaku, peneliti, dan penggerak kebudayaan Aceh, tutur Iskandar, SUKAT berkomitmen mengawal setiap kebijakan budaya yang tidak partisipatif dan tidak berpihak kepada masyarakat kebudayaan.

“Pemajuan budaya harus menjadi fondasi pembangunan Aceh yang bermartabat, bukan sekadar pelengkap narasi wisata atau proyek seremonial,” tegasnya.

TAG

Bagikan

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Berita Terbaru

Berita terpopuler

Add New Playlist